DodolKandangan. Oleh oleh khas Kalimantan Selatan berikutnya adalah dodol kandangan. Untuk bahan dodol ini memang serupa dengan dodol lainnya yakni beras ketan dan gula aren. Dodol kandangan ini bisa anda dapatkan dari mulai 3 ribu hingga 10 ribu tergantung dari ukuran yang bisa tahan hingga beberapa hari.
Alatmusik ini menjadi pengiring tari klasik Banjar. Selain itu Gamelan Banjar juga dimainkan pada saat pergelaran Wayang Kulit Banjar, Wayang Gung, Kuda Kipang Carita, Teater Tantayungan dan Basisingan. Di Kalimantan Selatan, alat musim gamelan banjar terbagi menjadi 2 jenis yaitu versi keraton dan versi rakyatan.
AlatMusik Kalimantan Selatan - Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi yang cukup luas, tercatat memiliki luas wilayah setidaknya 37.530,52 kmÂČ dengan jumlah penduduk 3,7 juta jiwa. Dengan wilayah dan penduduk besar, Kalimantan Selatan memiliki ragam budaya yang luar biasa, khususnya soal alat musik tradisional.
Pandaz musisi zaman sekarang poles lagu Banjar penuh kreativitas. Minggu, 14 Februari 2021 15:21 WIB. Pandaz saat berkunjung ke Kantor ANTARA Biro Kalimantan Selatan di Banjarmasin. (ANTARA/Firman) Harapannya dengan menggarap lagu Banjar dengan versi sendiri yaitu genre EDM (Electronic Dance Music) tapi tidak terlalu keras agar bisa didengar
C Upacara Adat Perkawinan. Perkawinan adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Dalam perkawinan Banjar, tampak jelas besarnya penghormatan terhadap wanita. Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang meyakini bahwa "surga ada di bawah telapak kaki ibu" dan "wanita itu adalah tiang negara".
Vay Tiá»n Online Chuyá»n KhoáșŁn Ngay. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sumber dari soft power terdiri dari aset-aset yang memproduksi daya tarik, Nye menjabarkan dalam tiga sumber yakni culture/kebudayaan, value khususnya political values, religious values, social. Values, etc dan policy/kebijakan luar negeri 2008. Dan sumber yang akan saya bahas disini dengan mengguanakan teori estetika humanisme, pada point pertama penyataan pertama yang dijabarkan Nye2008, yakni tentang culture/kebudayaan pada nilai "Musik Panting sebagai Kultur Banjar Kalimantan Selatan. Pada awalnya musik panting berada didaerah Tapin, Kalimantan Selatan. panting merupakan alat musik yang dipetik seperti gambus arab, namun ukurannya lebih kecil. Zaman dulu musik panting hanya dimainkan perorang atau solo, kini musik panting dapat dikolaborasikan dengan alat musik lainnya. Pentingnya terus melestarikan musik panting ini, karena diera sekarang banyak berbagai genre musik perlahan mengalihkan perhatian masyarakat yang berada diwilayah banjar dan pelan-pelan mengurangi minat anak muda dalam meneruskan tradisi untuk mengenal dan memainkan musik panting. Pengaruh musik modern perlahan mulai menggeser keberadaan musik panting sebagai tradisi nenek moyang yang ada diKalimantan Selatan. Kini kesenian ini mulai jarang ditemui dimasyarakat banjar. Yang sebelumnya masih banyak dimainkan dikesenian adat, acara bakawianan perkawinan atau pun hajatan penting lain didaerah banjar. Selain merupakan kesenian, musik sendiri sangat berperan penting dalam kehidupan manusia sebagai komunikator dalam menyampaikan suatu pesan dan sangat mudah diterima dimasyarakat pada keberadaan kesenian musik budaya tidak dapat seimbang dengan musik modern yang berkembang saat ini? Padahal jika dapat dilakukan harmonisasi antara musik khas daerah ini dengan music modern akan mampu menciptakan keunikan didalamnya yang mungkin akan bisa menarik kembali minat untuk mempelajari kesenian musik tersebut. Namun tidak meninggalkan nilai budaya didalamnya, sehingga tetap diketahui dan disukai khususnya dikalangan anak muda dan generasi berikutnya. Dalam mendengarkan dan mencintai warisan kebudayaan yang telah dilahirkan oleh para leluhur terdahulu melalui iringan musik panting bernuansa modern. Oleh karenanya,harapan terhadap musik panting sendiri tidak hanya menjadi musik yang lambat laun hanya sekedar menjadi sejarah dimasa mendatang. Namun keberadaan musik panting perlu selalu dilestarikan dan dikembangkan menjadi salah satu warisan budaya yang akan selalu jadi kebanggan masyarakat banua. Sehingga dapat mengangkat kembali nilai kebudayaan tak hanya untuk masyarakan yang ada di Kalimantan selatan, namun akan tetap dikenal diluar daerah dan negara lain sebagai salah satu kesenian yang ada di Indonesia. Lihat Music Selengkapnya
8 menit membaca Luasnya Indonesia, membuat deretan kesenian tradisional Kalimantan Selatan, juga patut untuk diketahui. Pasalnya, beberapa seni tari hingga alat musik tradisional di daerah ini, sudah tidak lagi banyak diketahui, bahkan keberadaannya, telah di ambang kepunahan. Tidak mau bukan, jika keragaman seni Indonesia, khususnya kesenian tradisional Kalimantan Selatan punah, diambil negara lain, dan lainnya? Maka dari itu, untuk para generasi baru, penting untuk melestarikan, atau setidaknya mengetahui. Ada 3 Kesenian Tradisional Kalimantan Selatan di Ambang Kepunahan Apa saja tiga kesenian tradisional Kalimantan Selatan yang berada di ambang kepunahan tersebut? Ya, itu adalah Bagandut, Baandi-andi, dan Balamut. Dilansir dari tidak hanya tiga kesenian tersebut, setidaknya masih ada empat alat musik tradisional, yang juga sudah mulai jarang ditemui. Empat alat musik itu adalah Kuriding, Garupai, Kurung-kurung, dan Bunggut. Baca Juga 9 Kesenian Tradisional Khas Jawa Barat Bahkan, untuk kesenian tradisional Kalimantan Selatan Baandi-andi, hanya tersisa dua orang yang masih mampu membawakannya. Mereka adalah Aban dan Aluh, yang sudah lanjut usia, yakni Aban berusia 94 tahun dan Aluh 60 tahun. Kesenian Tradisional Dikalahkan Gadget Sungguh sangat miris mendengarnya, jika kesenian asli Indonesia, sudah berada di ambang kepunahan, karena sudah tidak ada yang melestarikannya. Pasalnya, kini hal-hal yang berbau tradisional sudah mulai ditinggalkan, dan digantikan dengan teknologi modern, serta gadget sebagai mainan anak zaman sekarang. Sehingga, kecanggihan teknologi, membuat generasi penerus lebih memilih gadget, ketimbang belajar dan mengetahui kesenian tradisional. Sebenarnya, tidak ada salahnya kamu bermain gadget, namun pastikan dengan kecanggihan teknologi, kamu juga bisa sambil belajar dan mencari informasi terkait kesenian tradisional Indonesia, khususnya kesenian tradisional Kalimantan Selatan. Kesenian Tradisional Kalimantan Selatan Nah, buat kamu yang masih belum tahu, apa saja sih, kesenian tradisional Kalimantan Selatan, yuk simak rangkumannya berikut ini. 1. Tarian Tarian kesenian tradisional Kalimantan Selatan, tentunya memiliki ciri khas tersendiri. Hal tersebut tercipta dari latar belakang budaya yang berbeda, yang mewarnai kesejarahan masyarakatnya. Sehingga, daerah ini tentunya punya keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Untuk kesenian di Kalimantan Selatan ini, didominasi oleh Suku Banjar dan Suku Dayak Meratus. Dari dua suku tersebut, setidaknya kami akan rangkum menjadi delapan tarian tradisional Kalimantan Selatan. Meski tidak mencakup semuanya, namun beberapa tarian tradisional Kalimantan Selatan, yang dilansir dari berbagai sumber ini, semoga bisa membuka mata bahwa kesenian tradisional tak kalah bagus dan indah. Tari Gandut Bagandut Tarian tradisional Kalimantan Selatan yang pertama adalah Tari Gandut atau Bagandut. Tari ini juga disebut hampir mirip dengan Tari Ronggeng dari Sumatera dan Tari Tayub dari Jawa. Tarian khas Kalimantan Selatan ini, awalnya populer hanya di lingkungan istana. Namun, akhirnya tarian ini pun juga mulai populer di kalangan masyarakat biasa, sekitar 1860-an. Uniknya, para penari yang cantik dan pandai menari ini juga harus menguasai bela diri dan mantra-mantra tertentu. Bukan tanpa tujuan, hal ini dilakukan untuk melindungi diri dari tangan-tangan jahil penonton. Para penonton jahil tersebut, biasanya menggunakan ilmu hitam untuk mencoba memikat para penari. Namun, tarian ini tetap lestari, khususnya di Kabupaten Tapin. Tari Babangsai Tarian selanjutnya adalah Tari Babangsai, yang merupakan tarian dari Suku Dayak Meratus. Tarian ini juga biasa disajikan dalam upacara Aruh Ganal. Tidak hanya itu, Tarian Babangsai juga sering disajikan untuk acara kenduri besar atau panen raya. Adapun tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur, atas rasa gembira dari berhasilnya panen padi. Untuk Aruh Ganal sendiri adalah acara tahunan bagi masyarakat adat Lokasado Hulu Sungai di Kalimantan Selatan. Selain tujuan di atas, tarian ini tentunya bisa disajikan sebagai hiburan untuk masyarakat. Tari Radap Rahayu Dikenal sebagai tarian tolak bala, Tarian Radap Rahayu zaman dulu merupakan tarian klasik yang bersifat sakral. Tarian ini memiliki penari berjumlah ganjil, dan tidak hanya tarian, tapi juga diselingi dengan syair, yang isinya bisa mengundang makhluk halus. Pernah hampir punah, namun pada 1928, tarian ini hidup kembali oleh tokoh masyarakat Banjar, yaitu Kiai Amir Hasan Bondan. Tari Radap Rahayu juga sering dijadikan tari penyambutan, semenjak punah dan mengalami banyak perubahan. Tari Tirik Lalan Kesenian tradisional Kalimantan Selatan berupa Tarian Tirik Lalan, ini merupakan perkembangan dari tari Gandut di Kabupaten Tapin. Ada cerita yang ada di dalam tarian tersebut. Intinya tarian ini menggambarkan bujuk rayu seorang laki-laki, terhadap wanita yang dicintainya, agar diizinkan pergi untuk suatu urusan. Tari Kanjar Selanjutnya ada Tari Kanjar atau biasa disebut Kakanjaran. Tarian khas Kalimantan Selatan ini, berasal dari Suku Dayak Meratus, dan dikembangkan di Kecamatan Lokasado. Disajikan sebagai hiburan, tarian ini juga biasa digelar para aruh kenduri, khususnya yang berkaitan dengan padi, seperti sukses panen. Tari Baksa Kembang Tarian yang tumbuh dan berkembang di Kerajaan Banjar, selain Tari Radap Rahayu adalah Tari Baksa Kembang. tarian ini bisa disajikan secara tunggal maupun kelompok, dan biasanya berjumlah ganjil. Mengapa namanya Baksa Kembang? Hal itu dikarenakan, tarian ini menggambarkan kebiasaan gadis remaja dalam merangkai bunga di halaman istana Banjar. Tarian ini juga sering disajikan untuk menyambut tamu-tamu agung, dan dilakukan oleh putri-putri keraton. Tari Tantayungan Berbeda dari tari-tarian sebelumnya, karena Tari Tantayungan ini menggunakan properti topeng. Tarian adat kesenian tradisional Kalimantan Selatan ini, merupakan tarian khas masyarakat Barikin di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Namun, saat ini Tari Tantayungan sudah jarang dimainkan, karena dalam tarian ini, salah satu penarinya harus berasal dari garis keturunan leluhur di sana. Pasalnya, tarian ini sangat sakral, karena penarinya seringkali kerasukan roh-roh leluhur, yang dulunya juga seorang penari Tari Tantayungan. Tari Tandik Balian Tarian yang terakhir adalah Tari Tandik Balian, yang dikenal sebagai tarian upacara pengobatan pada suku Dayak, Bawo, Dayak Dusun, Dayak Maanyan, Dayak lawangan, Dayak Benuaq, dan Dayak Bukit. Selain pengobatan, tarian tentunya juga disajikan untuk dinikmati sebagai atraksi seni yang menarik. 2. Alat Musik Selain tarian, kesenian tradisional Kalimantan Selatan juga punya alat musik tradisional, yang tak kalah eksotis. Nah, berikut akan dirangkum setidak 12 alat musik tradisional Kalimantan Selatan, yang tak boleh kamu lewatkan. Gamelan Banjar Alat musik tradisional khas Kalimantan Selatan yang pertama adalah Gamelan Banjar. Ada dua jenis gamelan yang ada di dalam masyarakat Suku Banjar, yakni versi keraton dan versi kerakyatan. Gamelan Banjar sendiri sudah ada sejak abad ke-14. Adapun kesenian ini pertama kali diperkenalkan oleh Pangeran Suryanata ke Kalimantan Selatan. Alat Musik Bumbung Terbuat dari bambu, alat musik Bumbung ini merupakan hasil modifikasi dari Bumbung Lamang beras ketan yang dibakar dalam bambu. Selain itu, alat musik ini juga memiliki tujuh nada dasar. Alat Musik Kalampat Alat musik kesenian tradisional Kalimantan Selatan yang berikutnya ini adalah Kalampat. Alat musik pukul berupa gendang ini, terbuat dari batang batung atau bambu tebak, dengan ukuran diameter yang besar. Untuk cara memainkannya, bisa dengan cara dipukul, menggunakan pemukul dari rotan. Alat Musik Kintung Mirip alat musik Angklung, Kintung juga terbuat dari bambu, dan memiliki tujuh ruas bambu, yang masing-masing berukuran berbeda-beda. Setiap ukuran Kintung, ternyata juga memiliki nama yang berbeda, yakni hintalu randah, hintalu tinggi, tinti pajak, tinti gorak, pindua randah, pindua tinggi, dan gorak tuha. Untuk, cara memainkannya, yakni dengan dipukul menggunakan sepasang tongkat pemukul. Alat Musik Panting Terlihat seperti alat musik gambus, alat musik Panting ini memiliki ukuran yang lebih kecil. Panting sendiri diambil dari kata memanting, yang dalam bahasa Banjar berarti memetik. Panting biasa dimainkan secara solo, namun semakin ke sini, panting lebih menarik jika dimainkan bersamaan dengan alat musik lainnya. Alat Musik Kalang Kupak Terbuat dari bambu yang tipi, alat musik Kalang Kupak terdiri dari delapan ruas bambu, yang masing-masing dipotong menjadi setengah, dan meruncing di bagian ujung. Ruas-ruas bambu tersebut lalu disatukan dengan serat rotan, hingga membentuk alat musik calung dari Jawa Barat. Sarunai Banjar Untuk alat musik tradisional berikut ini adalah Sarunai Banjar. Alat musik ini adalah alat musik tiup khas Suku Banjar, yang memiliki bentuk seperti terompet. Alat musik ini, terbuat dari daun kelapa kering, yang berfungsi sebagai tempat tiup. Serunai biasa dimainkan bersama dengan gendang dan gong. Alat Musik Terbang Lamut Seperti namanya, alat musik Terbang Lamut ini merupakan alat musik yang digunakan sebagai pendukung kesenian Lamut Balamut, yakni sebuah seni sastra tutur sebagai hiburan masyarakat Banjar. Alat Musik Kurung-Kurung Jika bicara alat musik tradisional yang unik, jawabannya adalah Kurung-kurung. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu panjang, yang dipadu dengan bambu dibagian bawahnya. Cara memainkannya, cukup diletakan ke tanah, maka Kurung-kurung akan menghasilkan suara dengan nada yang berbeda. Alat musik ini biasa dimainkan berkelompok dan beberapa kurung-kurung. Alat Musik Kuriding Nah, kalau alat musik Kuriding ini merupakan alat musik khas Kalimantan Selatan, yang dibuat oleh nenek moyang Suku Banjar. Mengapa namanya Kuriding? Hal itu dikarenakan bunyi yang dihasilkan terasa nyaring, dan merdu. Kuriding terbuat dari pelepah pohon enau, bambu, atau kayu, yang dibentuk menyerupai persegi panjang, dan ujungnya dibuat bulat. Alat Musik Sampek Kesenian tradisional Kalimantan Selatan berupa alat musik yang terakhir adalah Sampek. Alat musik tradisional Suku Dayak ini, telah tersebar di Pulau kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan. Sampek sendiri terbuat dari berbagai jenis kayu, tapi seringnya menggunakan kayu arrow, kayu kapur, dan kayu ulin. Senarnya berjumlah 3,4, atau 6, bahkan untuk ukuran Sampek sendiri bisa disesuaikan dengan keinginan pembuatnya. Baca Juga 18 Kesenian Tradisional Khas Jawa Tengah Terbang Mahidin Terlihat seperti gendang, Terbang Mahidin merupakan alat musik tradisional khas Banjar. Alat musik ini terbuat dari kayu pohon nangka, dengan bagian atas yang ditutup membran berupa kulit kambing, yang sudah kering. Nah, itu dia beberapa informasi terkait kesenian tradisional Kalimantan Selatan, baik tarian maupun alat musik. Dengan mengetahui kesenian yang sudah hampir punah ini, seharusnya kita merasa bangga, karena Indonesia memiliki banyak budaya yang wajib untuk dilestarikan. Yuk, ikut lestarikan kesenian tradisional Kalimantan Selatan, dengan cara cintai budaya sendiri, agar tidak membuatnya punah. Nah, buat kamu yang merupakan masyarakat luar Kalimantan, dan ingin mempelajari budaya Kalimantan Selatan, yuk buat perencanaan perjalanan sekaligus liburan. Meski pandemi Covid-19 belum usai, kamu bisa melakukan perjalanan budaya setelah wabah ini berakhir. Agar perjalanan budaya terasa lebih hemat, sebaiknya kamu memiliki kartu kredit, yang bisa memberikanmu banyak keuntungan. Pasalnya, ada beragam kartu kredit yang dikhususkan untuk liburan, yang bisa kamu pilih untuk rencana perjalanan budayamu nanti. Yuk, persiapkan dulu kartu kredit terbaik untuk liburan, yang bisa kamu lakukan melalui Tidak perlu keluar rumah, kamu cukup mengajukan kartu kredit di secara online. Jadi, tunggu apa lagi? Segera ajukan kartu kredit terbaik pilihanmu, hanya di dan buat perjalanan budayam menyenangkan! Lebih seperti ini
ï»żJawabankalimantan selatan memiliki musik bernama panting. panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gambus arab tetapi ukurannya lebih kecil. pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebihmenarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lain, maka sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti bambu,gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri,karena pada musik panting yang terkenal alat musiknya dan sangat berperanadalah panting, sehingga musik tersebut dinamai panting.
Panting is a musical practice of South Kalimantan, Indonesia. The term "Panting" itself either the name of a plucked-lute instrument and of a musical ensemble. Such ensemble emerged ca the 1980s among the Barikin people of South Kalimantan. This study, using the ethnomusicological approach which is emphasized on fieldwork, is aimed to examine the emergence and change of Panting music. Based on the analysis, it appears that the emergence of Panting music is primarily caused by a creative act of its pioneer in response to the existing musical practices. The music is undergoing a number of changes in terms of the functions of music, performance, construction of panting instrument, and pattern of transmission. These changes are mainly due to the personal desire of the musicians as well as the allowances of surrounding cultural circumstances. Panting merupakan sebuah praktik musik yang berasal dari Kalimantan Selatan, Indonesia. Istilah âPantingâ memiliki dua arti, yakni, pertama, sebagai nama sebuah instrumen berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik; dan, kedua, nama dari sebuah ansambel musik. Musik Panting muncul sekitar tahun 1980-an. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnomusikologis dengan menekankan pada kerja lapangan, bertujuan untuk menelaah kemunculan dan perubahan musik Panting. Berdasarkan analisis, terlihat bahwa musik Panting terutama muncul sebagai hasil laku kreatif seniman pelopornya dalam menanggapi praktik-praktik musik yang sudah ada. Dalam perjalanannya musik ini mengalami sejumlah perubahan, yakni dalam hal fungsi musik, bentuk penyajian, konstruksi instrumen, dan pola transmisi. Perubahan ini terutama disebabkan oleh keinginan personal para musisinya dan juga kondisi lingkungan kultural yang memungkinkan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 140Musik Panting di Desa Barikin Kalimantan Selatan Kemunculan, Keberadaan dan PerubahannyaLupi Anderiani1Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia SurakartaABSTRAKPanting merupakan sebuah praktik musik yang berasal dari Kalimantan Selatan, Indonesia. Istilah âPantingâ memiliki dua arti, yakni, pertama, sebagai nama sebuah instrumen berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik; dan, kedua, nama dari sebuah ansambel musik. Musik Panting muncul sekitar tahun 1980-an. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnomusikologis dengan menekankan pada kerja lapangan, bertujuan untuk menelaah kemunculan dan perubahan musik Panting. Berdasarkan analisis, terlihat bahwa musik Panting terutama muncul sebagai hasil laku kreatif seniman pelopornya dalam menanggapi praktik-praktik musik yang sudah ada. Dalam perjalanannya musik ini mengalami sejumlah perubahan, yakni dalam hal fungsi musik, bentuk penyajian, konstruksi instrumen, dan pola transmisi. Perubahan ini terutama disebabkan oleh keinginan personal para musisinya dan juga kondisi lingkungan kultural yang kunci Panting, musik Borneo, BarikinABSTRACTîe Model of Music Learning through a Lesson Study A Case Study in Jawilan Elementary School, Serang. îe learning problems of music lessons at Jawilan Elementary School in Serang becomes the mainly source of the research background in this article. îe implementation of art education in this school has not gained enough attention from teachers. It can be seen from the distribution of the allocated time of learning and the involvement of classroom teachers who do not have suîcient background in art education music. îe appearing impact shows that the average of students do not have any independence in creativity and have less-active participation in the activities of musical arts either in school or outside the school. However, solving the problem is necessary to do by using a Lesson Study as a pattern approaches, strategies, and methods of learning to teach music that can be used as an alternative point of view in developing methods and organizing the appropriate ones, including the paradigm of teaching music at school essentially. îe results obtained from the activity may provide the alternative method as a basis for the development of learning music at school. Keywords music learning, Elementary School, Lesson StudyVol. 17 No. 3, Desember 2016 140-157Alamat korespondensi Prodi Pengkajian dan Penciptaan Seni, PPS ISI Surakarta. Jln Ki Hajar Dewantara, Kentingan, Surakarta. Email lupianderiani kultural, Kalimantan Selatan merupa-kan wilayah yang heterogen karena didiami oleh lebih dari satu suku-bangsa, yakni Melayu, Dayak, Jawa, Madura, Bugis, Cina dan Arab. Namun demikian, penduduk mayoritas di Kalimantan Selatan adalah Melayu dan Dayak. Di daerah ini, suku-bangsa Melayu biasa disebut dengan Suku Banjar, sedangkan kelompok yang mendiami wilayah pedalaman, yakni orang Dayak, lazim disebut dengan Urang Bukit. Oleh masyarakat se-tempat, Banjar dan Dayak dianggap sebagai suku-bangsa asli Kalimantan Selatan Radam, 2001 95. Kata âBanjarâ konon berasal dari Banjarmasih, yang dulunya merupakan nama sebuah kampung Naskah diterima 4 Oktober 2016 Revisi akhir 5 November 2016 141Vol. 17 No. 3, Desember 2016suku-bangsa Melayu yang terletak di muara Sungai Kuwin, salah satu anak Sungai Barito. Banjarmasih sendiri terbentuk dari dua kata, yakni âBanjarâ, yang berarti kampung; dan âMasihâ, yakni nama seorang kepala suku Melayu atau Patihâorang Dayak Ngaju menyebut kepala suku Melayu ini, yakni Patih Masih, sebagai Oloh Masih. Versi lain menyebutkan bahwa kata âBanjarâ berarti berderet-deret, yakni deretan perumahan, kampung, pedukuhan atau desa di atas air, di sepanjang tepi sungai. Nama Banjarmasih lambat laun berubah pelafalannya menjadi Banjarmasin karena pengucapan orang Belanda Saleh, 1981/82 2.Suku-bangsa Melayu konon sudah mendiami wilayah ini jauh sebelum masuknya agama Islam dan sebelum berdirinya Kerajaan Banjar. Mereka hidup berdampingan dengan suku-bangsa Dayak. Seiring berjalannya waktu, suku-bangsa Banjar, dengan identitas keislamannya, terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu suku-bangsa Banjar Kula, yang mendiami wilayah Banjarmasin dan Martapura; suku-bangsa Banjar Batang Banyu, yang mendiami wilayah tepian Sungai Tabalong hingga ke Kelua; dan suku-bangsa Banjar Hulu Pahuluan, yang mendiami daerah kaki Pegunungan Meratus, mulai dari Tanjung hingga ke Pelaihari. Ketiga kelompok besar ini memiliki ciri khas masing-masing, terutama dalam hal dialek bahasanya Radam, 2001 95. Suku-bangsa lain yang dianggap sebagai penduduk asli di Kalimantan Selatan, yakni Dayak atau yang juga disebut Urang Bukit, mendiami wilayah kaki Pegunungan Meratus. Menurut Mallinckrodt, seperti yang dikutip dalam Radam 2001 95, mereka merupakan pecahan atau salah satu puak suku-bangsa Maâanyan yang sebagian besar menyerap unsur-unsur kebudayaan melayu, terutama dalam hal bahasa. Dalam bahasa Banjar, kata âbukitâ memiliki dua pengertian pertama, berarti ketertinggalan dalam hal peradaban, biasanya digunakan untuk menyebut suatu kelompok masyarakat atau individu; kedua, berarti gunung kecil atau anak awalnya, masyarakat yang mendiami daerah Kalimantan Selatan adalah Dayak Maanyatn. Suku-bangsa ini mendirikan sebuah kerajaan, yakni Nan Sarunai, yang diperkirakan terletak di wilayah Hulu Sungai Utara. Setelah itu, datang lah orang-orang Melayu pertama, yang kemudian mendirikan kerajaan bernama Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri diperkirakan terletak di daerah Tabalong, yang sekarang wilayahnya dikenal dengan nama Kota Tanjung Idham dkk., 2005 11-12. Orang Melayu dan Dayak menjalin hubungan yang harmonis dan hidup berdampingan. Orang-orang Melayu pertama ini kelak terdesak ke daerah Pegunungan Meratus dan menjadi cikal bakal Orang Bukit oleh Orang Melayu yang datang belakangan. Setelah itu, datang para imigran dari Pulau Jawa, yang kemudian membangun kerajaan di daerah pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai Nagara. Ketiga kelompok masyarakat ini tentu datang dengan membawa serta kebudayaannya masing-masing. Ketiga kebudayaan inilah yang kemudian membaur, memunculkan satu kebudayaan baru, yakni kebudayaan Banjar Idham dkk., 2005 12-14.Keanekaragaman suku-bangsa di Kalimantan Selatan antara lain juga berdampak pada keragaman keseniannya. Akulturasi kebudayaan asli dengan pendatang memunculkan sebuah kebudayaan yang dapat disebut baru, yang hidup dan mampu bertahan hingga saat ini. Banyak terdapat jenis kesenian di Kalimantan Selatan, mulai dari musik tradisi, tari hingga teater rakyat, yang berasal dari suku bangsa yang ada di wilayah ini. Kendati demikian, kesenian rakyat yang cukup menonjol di Kalimantan Selatan adalah yang berasal dari suku Banjar. Selain kesenian Melayu, Suku Banjar juga memiliki kesenian yang mendapat pengaruh dari Jawa dan sudah ada sejak zaman kerajaan di Kalimantan Selatan, misalnya gamelan Banjar, wayang kulit, wayang orang, wayang gong, dan tarian klasik peninggalan Keraton Banjar. Salah satu kesenian rakyat yang cukup dikenal di wilayah Kalimantan Selatan hingga saat ini adalah musik Panting yang berakar dari musik Panting merupakan kesenian asli Kalimantan Selatan hasil karya cipta, dan berkembang di dalam masyarakat suku Banjar Bakhtiar Sanderta, Komunikasi Pribadi. Kini, kesenian ini masih sering dipergelarkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun di perkotaan. 142Lupi Anderiani, Musik Panting di KalimantanBahkan, musik ini juga kerap diundang sampai ke luar daerah, misalnya Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Tembilahan daerah Kepulauan Riau, dan Pulau Jawa. Beberapa grup musik Panting juga tidak jarang mendapat undangan untuk bertandang ke negeri jiran Malaysia guna menghibur masyarakat Banjar yang ada di sana. Musik Panting tidak hanya ditampilkan dalam acara yang digelar oleh masyarakat saja, melainkan juga dalam kegiatan resmi yang melibatkan para musik ini dipelopori oleh masyarakat Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatatan Timur Bakhtiar Sanderta, Komunikasi Pribadi. Masyarakat Barikin kemudian mengembangkan dan menyebarkan musik Panting ke wilayah lain di Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lainnya, termasuk Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Musik Panting di Desa Barikin cukup termahsyur di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, sehingga banyak orang datang ke desa ini untuk mempelajarinya. Bahkan, beberapa grup musik Panting yang ada di Kalimantan Selatan merupakan binaan dari Desa Barikin. Desa Barikin memang cukup dikenal di wilayah Kalimantan Selatan karena potensi keseniannya, bahkan sebelum lahirnya musik Panting. Potensi seni dan budaya yang dimiliki oleh desa ini merupakan warisan turun temurun dari leluhur mereka dan masih dilestarikan hingga saat ini. Terlepas dari kemahsyurannya di kalangan masyarakat, sejauh ini belum ada literatur yang membahas secara cukup mendalam tentang musik Panting. Kemunculan musik Panting merupakan fenomena yang menarik untuk dilihat lebih dekat Bagaimana kemunculannya? Bagaimana kehidupan atau keberadaannya? Apakah ia mengalami perubahan dalam keberadaannya? Melalui penelitian ini, penulis mencoba menelaah kemunculan, keberadaan dan perubahan yang dialami oleh musik Panting. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnomusikologis yang menekankan pada kerja lapangan. Data mengenai musik Panting nyaris seluruhnya bersifat lisan, masih berada di âkepalaâ para pelaku dan informan, sehingga cara utama untuk menggali dan mengumpulkannya adalah dengan melakukan wawancara dan observasi. Para informan adalah mereka yang terlibat atau bersinggungan langsung dengan musik Panting sejak awal kemuculannnya hingga saat ini, termasuk pelopornya. Selain wawancara dan observasi, terutama untuk data-data yang bersifat historis, digali dengan studi literatur. Secara garis besar, data yang dikumpulkan berfokus pada proses kemunculan, keberadaan dan perubahan musik Panting sejak awal kemunculanya, yakni tahun 1980-an hingga saat dan Pembahasan1. Musik PantingIstilah âPantingâ memiliki dua arti pertama, Panting merupakan nama instrumen musik jenis kordofon yang berasal dari instrumen kecapi Dayak yang kemudian mendapat pengaruh dari gambus Melayu. Bentuk instrumen Panting sangat identik dengan gambus yang tersebar luas di Alam Melayu. Sebutan Panting diambil dari teknik memainkan instrumen tersebut, yakni dipetikâdipetik, dalam bahasa Banjar Hulu, adalah di-panting. Instrumen Panting hanya digunakan oleh masyarakat Banjar Hulu, sementara masyarakat Banjar wilayah pesisir menggunakan instrumen gambus Melayu. Kedua, Panting merupakan nama dari sebuah ansambel musik, dengan instrumen Panting sebagai instrumen utamanya, selain juga instrumen suling, biola, babun sejenis kendang, kampul sejenis kempul, agung basar sejenis gong suwuk, kaprak atau marawis, kulimpatsejenis ketipung, dan kicik tamborin.Tangga nada yang digunakan mendekati atau sangat serupa dengan tangga nada Kemunculan Musik Panting di Desa Barikina. Barikin sebagai Basis Seni Tradisional Kalimantan SelatanDesa Barikin memiliki potensi seni dan budaya yang terbilang besar dalam lingkup wilayah Kalimantan Selatan. Ini antara lain terlihat dari masih adanya sejumlah seni 143Vol. 17 No. 3, Desember 2016merupakan keturunan Datu Taruna. Darah seninya ia warisi dari para pendahulunya serta didukung oleh lingkungan sekitar, sehingga jiwa seni beliau yang sudah dimiliki sejak kecil semakin kuat. Andilnya cukup besar dalam usaha pelestarian dan pengembangan budaya dan seni tradisional di Kalimantan Selatan. Menurut cerita masyarakat setempat, penduduk Desa Barikin berasal dari seorang ksatria kerajaan Negara Dipa wilayah yang sekarang menjadi Hulu Sungai Utara yang bergelar Datu Taruna. Bersama istri dan keluarganya, Datu Taruna membuka hutan dan mendirikan pemukiman di wilayah yang sekarang menjadi Desa Barikin. Selain merupakan seorang ksatria yang sangat disegani dan dihormati, Datu Taruna juga ahli dalam bidang kesenian keraton, khususnya gamelan Banjar lihat Maman dkk., 2006 10. Datu Taruna memiliki enam orang saudara, dua di antaranya memiliki keahlian di bidang seni keraton. Adik Datu Taruna yang nomor dua adalah seorang yang ahli dalam mendalang, sementara adik perempuannya yang bungsu, yang bergelar Datu Putih, ahli dalam seni tari keraton. Datu Taruna dan kedua adiknya inilah yang kemudian menyebarkan kesenian Keraton Banjar di Desa Barikin. Datu Taruna dan keluarganya, serta keturunannya kemudian menjadi sebuah komunitas besar dan membentuk suatu kelompok masyarakat, yakni masyarakat Desa W. Syarbaini lahir pada tanggal 8 Mei 1955 di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Sebagai putra ke empat dari sembilan bersaudara, ia terlahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga seniman. Keterampilan seni diperolehnya secara otodidak dari orang tua dan para kerabat. Keterampilan seni yang pertama kali ia pelajari adalah gamelan Banjar dan tari klasik Banjar. Selain musik dan tari, A. W. Syarbaini juga belajar mendalang pada pamannya, Ki Dalang Tulur, seorang tokoh dalang di Kalimantan Selatan. Menginjak usia 14 tahun, A. W. Syarbaini telah memiliki cukup banyak pengalaman berkesenian pertunjukan rakyat dan juga kesenian klasik peninggalan Keraton Banjar di desa ini. Jika ada riset yang berkaitan dengan seni dan budaya yang ada di Kalimantan Selatan, pemerintah setempat seringkali mengarahkan para peneliti untuk datang ke Barikin. Barikin dijadikan sebagai rujukan. Salah satu tokoh seni lokal-tradisional yang membina, melestarikan dan mengembangkan seni lokal adalah A. W. Syarbaini 1955-2016. Mayoritas seni tradisional yang ada di daerah Kalimantan Selatan, khususnya seni pertunjukan, memang terdapat di Desa Barikin. Bahkan, ada sejumlah kesenian yang di tempat asalnya sudah tidak ditemukan lagi, namun justru masih tetap dilestarikan hingga saat ini di Barikin. Banyak orang yang datang ke desa ini untuk mempelajari seni-seni tradisional, seperti musik dan tari, untuk kemudian dibawa ke daerahnya dan diajarkan di sana. Selain itu, banyak komunitas seni di Kalimantan Selatan merupakan hasil binaan dari para seniman dan seniwati dari Desa Pelopor Musik Panting di BarikinInstrumen panting awalnya merupakan perangkat yang digunakan untuk hiburan pribadi, mengisi waktu luang saat sedang sendirian, dan belum disebut dengan âmusik Pantingâ. Lazimnya, seseorang mendendangkan pantun atau syair sambil memainkan instrumen panting saat naik perahu untuk mengisi kekosongan waktu agar tidak terasa sepi atau suntuk. Selain itu, seringkali orang juga memainkan instrumen panting sembari berdendang saat sedang menjaga tanaman di sawah atau kebun. Akhirnya, seiring perkembangan zaman, instrumen ini bersama-sama sejumlah instrumen lain disatukan dalam format sebuah ansambel musik, dan oleh penduduk lokal disebut dengan musik musik Panting di Desa Barikin dipelopori oleh salah seorang tokoh seniman lokal, yakni A. W. Syarbaini. Berdasarkan silsilahnya, A. W. Syarbaini adalah pewaris komunitas Desa Barikin yang 144Lupi Anderiani, Musik Panting di Kalimantandengan ikut serta dalam pementasan keliling kampung hingga pentas antarkota/kabupaten bersama orang tua, paman, serta masyarakat Desa Barikin lainnya. Mereka membawakan kesenian wayang kulit Banjar, wayang orang, wayang gong, dan kuda gepang dalam acara-acara hiburan masyarakat di masa itu. Dari pementasan-pementasan itulah ia banyak mendapat pelajaran berkesenian, selain juga ilmu yang diberikan secara langsung oleh orang tua dan tahun 1973, A. W. Syarbaini membentuk sebuah sanggar seni tradisional di Desa Barikin. Sanggar itu ia beri nama âAding Bastariâ. Pada waktu itu, Ading Bastari mengusung sejumlah seni pertunjukan rakyat, seperti wayang kulit Banjar, teater Melayu mamanda, tarian Melayu Banjar, tari kuda gepang, kesenian bajapin atau bagandut, wayang orang dan wayang gong. Sanggar Ading Bastari masih tetap eksis di Kalimantan Selatan hingga saat ini. Atas prestasi dan jasanya dalam usaha pelestarian dan pengembangan seni tradisional di Kalimantan Selatan, A. W. Syarbaini mendapat sejumlah penghargaan seni baik dari pemerintah provinsi maupun pemerintah Japin Gunung Latar Belakang Musik Panting di Desa BarikinMenurut A. W. Syarbaini, kemunculan musik Panting di Desa Barikin dilatarbelakangi oleh kesenian japin gunung. Japin gunung merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan berupa tari dan musik bernuansa Melayu yang sifatnya hiburan. Istilah japin merupakan perubahan pelafalan dari zapin, kesenian yang umum dijumpai di Alam Melayu. Zapin sendiri berasal dari kosakata Arab, zaîana, yang berarti langkah kaki atau gerakan kaki. Sebagai kesenian Melayu, zapin juga dijumpai dalam masyarakat Suku Banjar dan tersebar di berbagai wilayah Kalimantan Selatan dan mengalami perubahan penyebutan menjadi japin. Kesenian ini kemudian diadopsi oleh orang-orang bukit dan dibawa ke pedalaman, lalu berkembang menjadi japin gunung. Japin gunung yang berkembang di wilayah perbukitan atau pedalaman sudah berbeda dari japin yang berkembang di dalam masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan, terutama dalam bentuk penyajiannya. Bentuk sajian japin dalam masyarakat pesisir bernuansa Islami dengan iringan musik Melayu Banjar. Musik pengiring tarian japin terdiri dari gambus Melayu, kaprak marawis, babun kendang, kampul sejenis kempul, dan vokal. Lagu-lagu yang dibawakan dalam kesenian zapin adalah lagu zapin Melayu dalam masyarakat pedalaman, bentuk zapin mengalami sejumlah perubahan, baik dari segi tari, lagu, iringan, dan bentuk penyajian. Japin gunung menyajikan seni berbalas pantun sambil menari. Biasanya ada sepasang biduan, yakni satu pria dan satu wanita yang menari sembari menyanyi dan berbalas pantun. Bila salah satu di antara mereka tidak bisa membalas pantun yang dilontarkan oleh yang lainnya, maka yang tidak bisa membalas itu dianggap kalah dan akan mendapat ejekan dari penonton. Sebaliknya, bagi biduan yang pantunnya tidak dapat dijawab oleh pasangannya, dianggap menang dan akan mendapat uang sirih sawer. Atau, bila ada salah satu penonton yang membuat salah seorang dari penonton merasa tersanjung atau tersentuh, maka orang tersebut biasanya juga akan memberikan uang sirih. Demikian seterusnya hingga pertunjukan yang digunakan untuk mengiringi japin gunung adalah panting, babun, dan kampul. Lagu yang dibawakan dalam pertunjukan japin gunung berbeda dengan lagu-lagu japin di wilayah pesisir. Lagu dalam japin gunung lebih kental dengan irama musik pedalaman, karena sudah dipengaruhi oleh budaya masyarakat lokal. Lagu yang dibawakan pun hanya satu, yang oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan lagu japin gunung. Pertunjukan ini biasanya digelar pada malam hari untuk hiburan gunung hanya terdapat dalam masyarakat Desa Sungai Harang, Desa Batu 145Vol. 17 No. 3, Desember 2016Panggung, dan berkembang di masyarakat sekitar desa ini saja. Kapan dan siapa pencetus japin gunung di desa ini belum diketahui secara pasti, karena kesenian ini sudah lama punah di desa asalnya, dan tokoh-tokohnya pun sudah meninggal dunia. Kendati demikian, menurut masyarakat, terakhir japin gunung sering dipentaskan sebelum tahun 1970. Setelah tahun-tahun itu, kesenian ini tidak diketahui lagi keberadaannya di desa 1970, japin gunung dibawa dan dilestarikan di Desa Barikin oleh A. W. Syarbaini. Musik pengiring japin gunung, oleh A. W. Syarbaini juga digunakan untuk mengiringi tari-tari rakyat dan sering diundang oleh masyarakat sebagai hiburan untuk mengisi acara, misalnya dalam acara pernikahan dan peringatan hari-hari besar nasional, baik di desa-desa se-kecamatan atau antarkota-kabupaten. Kesenian yang dibawakan pun berbeda-beda, misalnya teater atau tari rakyat Kalimantan Selatan, tergantung permintaan pihak yang akan memulai sebuah pertunjukan, baik tari ataupun teater rakyat, biasanya A. W. Syarbaini dan rekan-rekan pemusik memainkan musik iringan japin gunung sebagai pengisi waktu sekaligus untuk menarik dan mengumpulkan penonton. Setelah cukup banyak penonton yang datang, baru lah acara inti, yakni pertunjukan tari atau teater rakyat, disajikan. Musik iringan japin gunung yang disajikan di awal pertunjukan biasanya membawakan lagu-lagu rakyat Melayu Banjar yang sudah ada. Selain itu, tidak ketinggalan pula dimainkan lagu japin gunung itu musik iringan japin gunung pertama kali dipentaskan tahun 1970-an, menggunakan instrumen yang sama dengan kesenian aslinya. Namun, yang disajikan di sini hanya berupa musik dan lagu saja; vokalis hanya menyanyi, tidak sambil menari. Dalam pertunjukan ini, para pemain biasanya mengambil posisi berdiri atau duduk di kursi. Lazimnya, yang berada di posisi paling depan adalah vokalis dan pemain gambus, selanjutnya di belakangnya adalah pemain babun gendang yang sejajar dengan pemain kampul dan giring-giring. Atau, pemain giring-giring dan kampul juga bisa ditempatkan di belakang pemain babun. Kendati demikian, susunan tersebut bukanlah susunan yang baku atau mutlak; susunan bisa berubah sesuai dengan kebutuhan para W. Syarbaini biasanya mengambil peran sebagai pemain panting dalam pertunjukan dan sesekali juga memainkan biola. Lagu-lagu yang dibawakan dalam pertunjukan ini masih sangat terbatas dan cara penyajiannya pun terbilang masih sangat sederhana atau belum mengenal variasi dan aransmen lagu. Pada masa itu, pertunjukan ini juga belum memiliki penamaan atau penyebutan yang baku. Namun, karena pertunjukan ini menyajikan musik dan lagu saja, masyarakat sering menyebutnya dengan istilah acara banyanyanyian bernyanyi-nyanyi atau musik japin. Acara banyanyanyian pada waktu itu hanyalah hiburan untuk mengumpulkan penonton dalam sebuah acara pertunjukan. Artinya, banyanyanyian tidak pernah digelar secara mandiri, melainkan hanya untuk mengawali sebuah pementasan seni pertunjukan waktu itu mulai digemari oleh masyarakat di sekitar Desa Barikin. Oleh karena itu, muncullah keinginan hati A. W. Syarbaini untuk lebih mengembangkannya agar semakin dikenal di masyarakat luas, khususnya di daerah Kalimantan Selatan. Langkah awal yang dilakukannya ialah menggali lagu-lagu rakyat, khususnya yang ada di Desa Barikin, dan lagu-lagu Melayu Banjar pada umumnya. Ini dilakukan untuk menambah perbendaharaan lagu dalam acara banyanyanyian. Satu demi satu lagu rakyat dan lagu Melayu Banjar ia pelajari dan ia kumpulkan dari masyarakat Desa Barikin secara Desa Barikin yang seluruhnya beragama Islam memiliki kebiasaan berzikir sambil berpantun dengan lagu-lagu bernuansa Melayu. Zikir ini biasa disebut masyarakat 146Lupi Anderiani, Musik Panting di Kalimantansetempat dengan istilah zikir simak, karena dalam zikir ini diselingi pantun dengan syair bermakna ketuhanan yang harus disimak dan dipahami dengan sungguh-sungguh. Zikir simak, dalam lagu-lagunya, biasanya diiringi dengan satu buah alat musik sejenis siter yang biasa disebut masyarakat setempat dengan panting mandolin dan tarbang buldarah terbang atau gendang Melayu berukuran besar sebanyak empat buah sehingga masyarakat biasa menyebutnya dengan tarbang ampat terbang empat.Selain untuk mengiringi zikir simak, tarbang ampat dalam masyarakat Barikin juga digunakan sebagai iringan dalam Maulid Rasul Al Barzanji yang biasa disebut masyarakat dengan maulid tarbang ampat. Zikir simak dan maulid tarbang ampat dibawa oleh Auliya Syekh Abdussyukur Shihab, seorang ulama yang masih berdarah Barikin, yang menurut riwayat menuntut ilmu agama di Mekah dan merupakan seorang pelopor agama Islam di Desa Barikin. Kendati demikian, asal-usul seni tarbang ampat ini belum diketahui secara pasti, karena belum ditemukan data yang akurat terkait hal tersebut. Pada dasarnya, instrumen dan ansambel terbang umum dijumpai dalam masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam. Konon, terbang diperkenalkan oleh pedagang dari Arab dan Afrika Utara Irawan, 2010 97.Auliya Syekh Abdussyukur Shihab adalah seorang ulama yang menggunakan seni musik sebagai media dakwahnya terutama di Desa Barikin. Musik yang digunakan adalah zikir simak. Ketika membawakan zikir simak, ia biasanya memainkan panting mandolin sambil melantunkan lagu-lagunya. Menurut cerita masyarakat setempat, ke manapun ia pergi, selalu membawa panting mandolin dan selalu ia mainkan saat sedang sendiri sembari mendendangkan pantun-pantun yang bermakna suî. Banyak lagu, pantun, dan syair ciptaannya untuk zikir simak dan lagu untuk menyanyikan syair-syair Barzanji yang masih digunakan oleh masyarakat setempat sampai saat banyak di antara masyarakat Desa Barikin yang merantau ke daerah di Pulau Sumatera, yaitu daerah Tembilahan Kepulauan Riau dan Batu Pahat Malaysia, termasuk Auliya Syekh Abdussyukur. Menurut informasi masyarakat setempat, banyak juga lagu Melayu yang dibawa dari dua daerah ini, seperti lagu-lagu senandung dan zapin Melayu, untuk digunakan sebagai lagu zikir simak dan maulid tarbang ampat. Tidak menutup kemungkinan seni buldarah atau tarbang ampat diadopsi dari Malaysia, sebab menurut catatan sejarah, masuknya instrumen terbang gendang Melayu berasal dari daerah Malaka, Malaysia Sanderta dkk., 2000 22.Dari zikir simak dan maulid tarbang ampat inilah A. W. Syarbaini banyak memperoleh lagu untuk digunakan dalam acara banyanyanyian. Dalam banyanyanyian, syair yang dibawakan bukanlah syair dari zikir simak atau Barzanji, melainkan diganti dengan pantun-pantun bebas atau tidak baku untuk lagu tersebut. Artinya, pantun dalam lagu-lagu banyanyanyian bisa berubah sesuai dengan keinginan sang vokalis, karena pada saat itu A. W. Syarbaini belum mengenal istilah mencipta lagu. Oleh karena itu, lagu-lagu yang dibawakan dalam banyanyanyian hanya berkutat di seputar lagu rakyat dan lagu Melayu Banjar yang sudah ada, khususnya lagu-lagu peninggalan Auliya Syekh Abdussyukur yang tergolong masih kakek banyanyanyian terus dipentaskan untuk mengawali sebuah pertunjukan yang akan ditampilkan oleh A. W. Syarbaini setiap kali ada undangan masyarakat untuk mengisi acara hiburan. Tentu saja, lagu-lagu yang disajikan pun sudah mulai bertambah. Banyanyanyian atau musik japin makin dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Tengah pada masa itu, terutama masyarakat A. W. Syarbaini untuk terus menggali seni tradisi di Kalimantan Selatan tidak hanya sampai di situ. Ia terus mencari dan mengumpulkan informasi di masyarakat tentang seni dan budaya daerah Kalimantan 147Vol. 17 No. 3, Desember 2016Selatan. Informasi tentang kesenian banyak ia peroleh dari masyarakat ketika mendapat undangan untuk menggelar pertunjukan di desa-desa yang tersebar di berbagai penjuru Kalimantan Selatan. Dari sini pula lah ia berkenalan dengan tokoh-tokoh seni tradisi Kalimantan Selatan. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan begitu saja; ia banyak menggali dan belajar, khususnya di bidang seni dan budaya dari tokoh-tokoh yang ia Desa Pandahan, Kabupaten Tapin, yang masyarakatnya masih termasuk suku Banjar Hulu, ada sebuah seni pertunjukan yang disebut bagandut, atau yang lebih dikenal luas dengan sebutan kesenian bajapin. Bagandut atau bajapin adalah kesenian yang sejenis dengan ronggeng atau tayuban yang ada di Pulau Jawa. Gandut adalah sebutan untuk penari atau biduan dalam kesenian ini. Kendati demikian, arti gandut dalam kesenian ini tidak diketahui secara pasti. Masyarakat setempat juga tidak mengetahui apa arti gandut yang sebenarnya. Penyebutan ini sudah ada sejak zaman kakek-nenek mereka. Dalam kamus bahasa Banjar, kata gandut berarti gendut atau buncit. Namun, kata gandut yang digunakan dalam penyebutan bagandut belum diketahui artinya. Perlu studi lebih lanjut untuk memperoleh data yang akurat. Menurut masyarakat lokal, kesenian bagandut sudah ada sejak zaman nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan di kalangan masyarakat Desa Pandahan. Kapan persisnya kesenian ini muncul, dan siapa pencetusnya, belum bagandut menyajikan lagu-lagu rakyat setempat dan mengajak penonton untuk menari bersama gandut yang ada dengan cara memberikan uang sirih sawer kepada gandut tersebut. Bagandut biasanya dipentaskan pada malam hari sebagai hiburan untuk masyarakat seusai panen raya atau pada perayaan-perayaan lainnya, khususnya di Desa Pandahan. Lagu-lagu dalam kesenian bagandut masih bernuansa Melayu Banjar dengan iringan instrumen musik yang nyaris sama dengan iringan japin gunung, yaitu satu buah panting, satu buah babun, giring-giring, satu buah kampul, satu buah rabab sejenis rebab, terbuat dari batok kelapa dan kulit ular, serta gandut vokalis sekaligus penari.Bagandut memiliki beberapa kesamaan dengan japin gunung. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada instrumen dan bentuk penyajian. Instrumen rabab yang digunakan dalam bagandut tidak dijumpai dalam japin gunung; dalam japin gunung, penonton tidak diajak untuk ikut menari, sementara dalam bagandut penonton diajak berpartisipasi menari bersama sang gandut. Kendati demikian, kedua kesenian tersebut memiliki latar belakang yang sama, yakni dari kesenian ronggeng atau bajapin tidak luput dari perhatian A. W. Syarbaini. Ia mendatangi beberapa tokoh kesenian ini di Desa Pandahan yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya untuk belajar secara langsung. Setelah beberapa lama mendalami bagandut, terutama dalam hal lagu-lagunya, kesenian ini ia bawa ke Desa Barikin. Di sana, ia membentuk kesenian bagandut pada tahun 1973. Karena di Barikin sudah dikenal japin gunung, maka kesenian bagandut ini tidak begitu asing dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Bahkan, masyarakat sangat menggemari kesenian bagandut yang dibawa oleh A. W. Syarbaini dari Desa Pandahan ini. Saat itu, di Barikin belum ada yang mampu menjadi seorang gandut, sebab bagandut memiliki lagu dan tarian yang khas dan beragam. Jika ada permintaan dari masyarakat, biasanya ia menjemput gandut dari Pandahan untuk membantu yang oleh masyarakat Barikin sering disebut bajapin, sangat populer di Hulu Sungai Tengah dan Selatan. Dalam perkembangannya, keberadaan kesenian ini menggeser popularitas japin gunung yang sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Barikin dan sekitarnya. Setelah masuknya bagandut di Desa Barikin, japin gunung menjadi sangat jarang digelar di kalangan 148Lupi Anderiani, Musik Panting di Kalimantanmasyarakat. Ini antara lain disebabkan karena tidak ada lagi generasi penerus di desa asalnya, selain juga masyarakat lebih tertarik dengan bajapin. Sejak itu pula lah japin gunung lambat laun jarang muncul hingga akhirnya tidak pernah digelar atau bisa dikatakan bagandut juga memberi pengaruh pada musik japin atau acara banyanyanyian, terutama pada lagu-lagu dari kedua kesenian ini. Lagu-lagu bagandut sering dibawakan dalam musik japin atau banyanyanyian di samping lagu-lagu yang terdahulu. Alhasil, pertunjukan ini semakin berkembang dan digandrungi oleh masyarakat. Meskipun perkembangan terjadi hanya dalam hal jumlah lagu yang dibawakan dan belum ada sentuhan lain yang lebih jauh, namun harus diakui bahwa ini cukup disukai oleh A. W. Syarbaini sudah memetik dawai-dawai panting-nya dan melantunkan lagu-lagu Melayu Banjar dengan diiringi instrumen lain, sebagian masyarakat sudah tahu bahwa yang akan mengadakan pertunjukan adalah kelompok atau rombongan A. W. Syarbaini. Mereka lalu berkumpul di lokasi pertunjukan untuk menikmati banyanyanyian atau musik japin dan pertunjukan inti yang akan digelar setelah itu. Ini disebabkan karena banyanyanyian atau musik japin yang mendahului sebuah pertunjukan hanya disajikan oleh kelompok A. W. Syarbaini dari Desa Barikin. Pada tanggal 15 November 1977, musik japin ditampilkan secara khusus dalam resepsi perkawinan A. W. Syarbaini di Desa Barikin. Dalam acara ini, musik japin disajikan sebagai musik pengantar, serta untuk menyambut sekaligus menghibur para tamu yang hadir. Instrumen yang digunakan dan lagu yang dibawakan dalam musik japin masih belum mengalami perkembangan, hanya saja pertunjukan ini dikhususkan untuk sajian musik resepsi tersebut, hadir pula sejumlah tokoh seniman di Kalimantan Selatan, antara lain Yustan Azidin almarhum, Marsudi B. A., Anang Ardiansyah, dan Drs. Bakhtiar Sanderta. Para tokoh seni ini tertarik melihat pertunjukan musik japin yang ditampilkan, dan mereka turut bernyanyi secara bergantian. Dari sinilah kemudian pertunjukan musik japin mulai mendapat perhatian di tingkat provinsi, khususnya dari para tahun 1979 pertunjukan musik japin mengalami perkembangan, khususnya dalam hal instrumen dan lagu yang dibawakan. Instrumen yang digunakan saat itu mengalami penambahan jumlah dan jenis panting, yang tadinya hanya satu, menjadi tiga buah; lima buah kulimpat sejenis ketipung; suling; agung basar sejenis gong suwuk; babun gendang dan giring-giring tidak mengalami perubahan. Sejak tahun ini pula A. W. Syarbaini mulai menciptakan lagu-lagu tradisional khusus untuk pertunjukan musik japin A. W. Syarbaini, Komunikasi Pribadi, 6 Maret 2007.Pada tahun 1985, kesenian ini diikutkan dalam festival musik rakyat tingkat nasional di Jakarta, yang diwakili oleh kontingen dari Kabupaten Tapin Rantau, dan masuk dalam kategori 10 penyaji terbaik. Saat akan diberangkatkan, kesenian ini masih belum memiliki nama deînitif atau resmi. Akhirnya, dari hasil kesepakatan beberapa tokoh seni, di antaranya Bakhtiar Sanderta, Yustan Azidin, dan Anang Ardiansyah, kesenian ini diberi nama musik Panting. Alasan utamanya adalah karena instrumen panting merupakan instrumen utama, yakni pembawa lagu dalam kesenian ini. Sejak saat itu kesenian tersebut mulai berkembang, dikenal dengan nama musik Panting, dan diakui masyarakat sebagai kesenian rakyat Kalimantan musik Panting pada awalnya hanya dijumpai di Desa Barikin. Namun, kesenian ini kemudian menyebar luas di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. A. W. Syarbaini dan musik Panting-nya kerap diundang di tingkat provinsi untuk tampil dalam berbagai acara. Selain itu, masyarakat juga menyukai kesenian ini dan sering menggelarnya dalam acara perkawinan. 149Vol. 17 No. 3, Desember 2016Sejak itulah musik Panting memasyarakat di Kalimantan Selatan, yang antara lain ditandai dengan munculnya grup-grup musik panting di daerah lain. Tidak hanya di kalangan masyarakat awam, musik Panting juga disebarluaskan di sekolah-sekolah dengan cara membagikan alat-alat musik Panting yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Keberadaan Musik PantingKebudayaan bersifat dinamis, berubah seiring dengan perubahan yang dialami oleh masyarakat pemiliknya. Demikian pula yang terjadi dalam kabudayaan masyarakat Banjar, tidak terkecuali yang hidup di Desa Barikin. Masyarakat Barikin masih memelihara adat istiadat dan budaya warisan leluhur mereka. Namun, mereka tidak serta merta menutup diri dari perubahan zaman dan menerima pengaruh akibat kontak yang terjadi dengan kelompok masyarakat lain. Perubahan ini antara lain terlihat dari cara berpakaian, terutama anak muda yang selalu mengikuti perkembangan mode, kepemilikan alat elektronik seperti televisi, alat komunikasi, alat transportasi, dan sebagainya. Perubahan zaman, tidak dapat dipungkiri, juga berdampak pada keberadaan musik Musik Panting Tahun 1985Sejak tahun 1970-an, A. W. Syarbaini sering diutus sebagai delegasi oleh pemerintah daerah untuk menjadi wakil dalam festival-festival kesenian tradisional, baik musik, tari, atau acara lainnya di tingkat nasional. Dari sinilah ia banyak melihat perkembangan kesenian-kesenian di daerah lain di Indonesia, dan menjadikannya sebagai referensi dan perbandingan untuk pengembangan kesenian yang ada di Desa Barikin secara khusus, dan Kalimantan Selatan secara umum. Pengalaman kesenian di luar daerah ini memberikan pengaruh, secara langsung ataupun tidak, terhadap perkembangan kesenian yang ada di Desa Barikin. Tahun 1985 merupakan era perkembangan musik Panting, khususnya di Desa Barikin, dan kemudian menyebar di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya. Pada tahun 1985, A. W. Syarbaini mulai menggunakan perangkat elektronik untuk menunjang pertunjukan musik Panting-nya, meskipun terbilang masih sangat sederhana. Perangkat elektronik yang digunakan adalah beberapa buah alat pengeras suara, agar kualitas suara yang dihasilkan lebih maksimal. Beberapa buah perangkat pengeras suara yang digunakan dalam pertunjukan musik Panting pada awalnya adalah beberapa buah mikrofon, satu unit ampliîer dan satu unit speaker corong. Menurut A. W. Syarbaini, sebagian dari perangkat tersebut biasanya disewa dari tetangga, dan sebagian merupakan milik sendiri. Dengan alat yang terbilang masih sederhana ini, A. W. Syarbaini bersama rombongan musik Panting-nya mengadakan pertunjukan untuk memenuhi keinginan atau permintaan masyarakat, baik di daerah Hulu Sungai Tengah sendiri maupun ke luar wilayah kabupaten yang diperoleh dari pemen-tasan, juga sebagian sisa honorarium para pe-main ditabung atau dimasukkan ke dalam kas kelompok untuk biaya peralatan dan penam-bahan alat-alat yang masih kurang. Uang kas yang terkumpul, ditambah dengan dana pribadi A. W. Syarbaini, digunakan untuk membeli sedikit demi sedikit perangkat sound system serta memperbarui sebagian alat musik panting yang dinilai sudah kurang layak pakai. Sebagian dari perangkat sound system dibeli dalam bentuk sudah jadi, sementara sebagian lainnya dirakit atau dirangkai sendiri dengan membeli bahan-bahannya terlebih dahulu. Ini dilakukan karena dana yang dimiliki tidak cukup untuk membeli perangkat sound system yang sudah jadi secara lengkap. Pada tahun ini pula A. W. Syarbaini mulai banyak mencip-takan lagu untuk pertunjukan musik Panting. Salah satu lagu ciptaannya yang cukup dikenal hingga saat ini adalah lagu berjudul âMusik Pantingâ dan âAyun Apanâ. Instrumen pan-ting juga mulai mengalami perubahan dalam hal konstruksinya pada tahun 1985. A. W. Syarbaini berinisiatif mengganti kulit penutup 150Lupi Anderiani, Musik Panting di KalimantanSyarbaini sudah menggunakan sound system layaknya pertunjukan musik dangdut, antara lain beberapa unit sound control, sound untuk di luar panggung, mixer, mesin power, dan alat elektronik tahun 1989 ini juga mulai banyak diciptakan lagu untuk musik Panting. Selain ciptaan A. W. Syarbaini, banyak juga lagu yang diciptakan oleh salah seorang anggota rombongannya, yaitu M. Aini. Sejak usia 13 tahun tahun 1970, M. Aini sudah bergabung dengan, atau mengikuti A. W. Syarbaini, sebagai pemain panting dalam kesenian bajapin. Ia menciptakan lagu untuk musik Panting sejak tahun 1989 hingga sekarang. Lagu-lagu ciptaan A. W Syarbaini dan M. Aini masih dibawakan hingga saat ini oleh grup-grup musik Panting lainnya di Kalimantan Musik Panting Tahun 1990Sejak tahun 1990, penggunaan perangkat sound system dalam pertunjukan musik Panting diikuti oleh grup-grup musik Panting lainnya di berbagai wilayah Kalimantan Selatan. Pada masa ini pula, menurut keterangan A. W. Syarbaini, ia mendapat proyek dari Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Selatan untuk membuat instrumen panting dalam jumlah banyak guna dibagikan ke sekolah-sekolah. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah daerah setempat dalam rangka pengembangan musik Panting di Kalimantan musik merupakan salah satu hasil budi daya manusia yang juga memiliki ciri atau sifat kebudayaan, yaitu tidak lepas dari perubahan. Faktor yang antara lain mempengaruhi perubahan instrumen musik adalah lingkungan masyarakat dan akulturasi Kebudayaan Banoe, 1984 11. Hal ini juga terjadi pada instrumen panting. Pada awal tahun 1990, A. W. Syarbaini melakukan eksplorasi dan eksperimen terhadap instrumen panting. Ia mencoba membuat panting elektrik dengan cara memasang perangkat pengeras suara spool pada instrumen tersebut. Sebelumnya, ia hanya menggunakan kotak resonator dengan menggunakan kayu tipis. Hal ini ia lakukan karena berdasarkan pengalaman, kulit penutup resonator instru-men panting jika digunakan pada malam hari atau terkena udara dingin akan menjadi lembab dan kendur, sehingga suara yang di-hasilkan tidak maksimal. Hal seperti ini tidak lagi terjadi setelah penutup resonator diganti dengan kayu era 1980-an, di kalangan masyarakat pedesaan, terutama di daerah Hulu Sungai Tengah, sudah populer musik dangdut. Di Desa Barikin, musik dangdut juga sering dipentaskan oleh masyarakat setempat. Grup musik dangdut biasanya datang dari Kota Banjarmasin dan mengadakan pertunjukan keliling ke daerah-daerah kabupaten sampai ke pelosok pedesaan. Musik dangdut ini biasa dipentaskan pada malam hari. Dalam pertunjukannya, mereka menggunakan perangkat sound system yang lengkap sehingga suasana yang tercipta terkesan sangat meriah. Dangdut cukup digandrungi oleh masyarakat, sehingga hampir setiap ada perayaan, musik dangdut nyaris selalu disertakan sebagai hiburan pada malam W. Syarbaini sering menyaksikan pertunjukan musik dangdut di Desa Barikin. Ia kemudian tertarik dengan perangkat sound system yang digunakan dalam pertunjukan musik tersebut. Dari sini lah kemudian muncul pemikirannya untuk mencoba menggunakan perangkat sound system serupa dalam pertunjukan musik Panting. Oleh karena itu, ia kemudian belajar cara menggabungkan sebuah alat musik ke dalam perangkat sound Musik Panting Tahun 1989A. W. Syarbaini mengumpulkan perangkat sound system dengan menggunakan pendapatan atau hasil pementasan musik Panting yang ditambah dengan dana milik pribadi. Satu demi satu perangkat sound system mulai terkumpul dan alat-alat dalam ansambel musik Panting juga diperbarui. Menurutnya, usaha ini dilakukan selama bertahun-tahun. Pada tahun 1989, A. W. 151Vol. 17 No. 3, Desember 2016mikrofon eksternal yang terhubung dengan mixer dan loudspeaker untuk mengampliîkasi bunyi instrumen panting. Menurutnya, cara ini kurang begitu praktis dan suara yang dihasilkan belum benar-benar maskimal. Oleh karena itu, timbul keinginannya untuk membuat ampliîkasi panting yang lebih praktis tanpa harus mengubah bentuk instrumen elektrik dengan hasil yang maksimal akhirnya berhasil dibuat oleh A. W. Syarbaini setelah melewati beberapa kali uji coba. Setelah itu, ia mulai berpikir tentang aransmen musik Panting. Saat itu, dalam pertunjukan, ia menggunakan tiga buah instrumen panting, namun ketiganya memiliki fungsi yang sama dalam permainannya, yakni sebagai pembawa melodi pokok lagu. Ia kemudian mencoba membagi fungsi musikal dalam permainan instrumen panting. Tiga buah panting masing-masing ia beri fungsi yang berbeda. Panting satu tetap sebagai pembawa melodi pokok lagu, panting dua berfungsi sebagai pemberi variasi satu, dan panting tiga berfungsi memberikan variasi dua karena masing-masing instrumen panting kini sudah memiliki fungsi berbeda, maka penamaannya pun dibedakan sesuai fungsinya itu panting satu, karena berfungsi sebagai pembawa melodi pokok, disebut dengan panting pambawa; panting dua dinamai panting paningkah; dan panting tiga diberi nama panting teknologi dalam pertunjukan musik sedikit-banyak turut berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap musik itu. Pertunjukan musik Panting dengan menggunakan sound system lebih disukai masyarakat, sebab bunyi setiap instrumen dapat terdengar lebih maksimal, jangkauannya lebih jauh sehingga lebih banyak orang yang mendengarkan dan hadir, dan kesan yang dimunculkan lebih meriah. Kendati demikian, tidak semua orang berpandangan demikian. Ada beberapa tokoh seni yang awalnya menyatakan ketidak-setujuannya dengan penggunaan perangkat sound system dalam pertunjukan musik Panting. Alasannya antara lain ialah bahwa kehadiran perangkat ini dikhawatirkan merusak citra seni tradisi, dalam hal ini musik Panting. Namun, tentu A. W. Syarbaini memiliki alasan tersendiri di balik penggunaan perangkat modern pada saat itu, yakni agar musik Panting bisa bersaing dengan musik dangdut yang kala itu sangat populer di masyarakat. Ia berharap agar musik Panting dapat lebih diminati dan berkembang di kalangan masyarakat yang lebih Panting di daerah Barikin kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan. Hampir di setiap daerah terdapat grup musik Panting, dan sebagian di antaranya merupakan hasil binaan A. W. Syarbaini. Grup binaannya tidak hanya berasal dari Hulu Sungai Tengah saja, melainkan juga dari Hulu Sungai Selatan, Tabalong, hingga Banjarmasin. Bahkan, boleh dikatakan bahwa musik Panting di Desa Barikin merupakan kiblat musik Panting di Kalimantan Selatan. Setiap perkembangan yang terjadi di Barikin selalu dicontoh oleh grup-grup lain di Kalimantan pendapat antara beberapa tokoh seni di Kalimantan Selatan soal penggunaan perangkat sound system dalam pertunjukan musik Panting lambat laun dapat diselaraskan. Mereka yang tadinya kontra menjadi dapat menerima setelah mendapati bahwa pertunjukan musik Panting yang memanfaatkan teknologi sound system sangat digandrungi dan berkembang luas di musik Panting di Desa Barikin tidak hanya berkutat pada penggunaan perangkat ampliîkasi saja. A. W. Syarbaini juga melakukan aktivitas kreatif lain terkait musik Panting. Hal ini dilakukan agar musik ini bisa tetap tumbuh dan berkembang di masyarakat. Musik Panting sudah diakui sebagai musik tradisi asli Kalimantan Selatan, sehingga harus tetap dijaga keberadaannya. Tanpa ada dukungan dari masyarakat, maka dapat hampir dipastikan keberadaan kesenian tersebut akan terancam. 152Lupi Anderiani, Musik Panting di KalimantanTradisi Anak Nusantara Tingkat Nasional di Jakarta, dan masuk dalam kategori 5 Panting di Desa Barikin masih terus berkembang hingga kini. Hingga akhir hayatnya, A. W Syarbaini 1955-2016 terus membina musik Panting baik di Barikin maupun di daerah lain dalam wilayah Kalimantan Selatan. Lagu-lagu musik Panting yang sudah ada atau ciptaan baru biasanya diaransemen dengan menggunakan irama musik lain, misalnya irama dangdut jaipong dan irama musik tingkilan. Menurut Irawati 2013 2 Tingkilan merupakan salah satu jenis kesenian musik masyarakat Kutai yang berasal dari perjalanan masuknya Islam ke Kutai dan memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu yang kemudian beralkulturasi dengan budaya-budaya lain yang ada di Kutai seperti idiom musik keroncong jenis langgam, hadrah, melayu dan lain-lain. Tetapi yang tetap membuat musik tersebut masih dikatakan Tingkilan adalah dari instrumen gambus yang dipakai, irama musik dan syair lagu yang musik Panting Pandan Sari dari Desa Tabat Padang, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, merupakan salah satu hasil binaan A. W Syarbaini. Menurut Romeo, mereka membangun kelompok ini sejak tahun 2002 dan belajar di Sanggar Ading Bastari, Desa Barikin. Kelompok lain yang merupakan binaan beliau adalah Grup Moneca dari Desa Masimpan, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Menurut Iyus, kelompok tersebut dibentuk tahun 2003, dan mereka juga belajar dari Sanggar Ading Bastari. A. W. Syarbaini juga sering menyajikan pertunjukan musik Panting dengan sajian berbeda untuk menarik minat masyarakat, misalnya mengkolaborasikannya dengan instrumen musik lain. Ia beberapa kali mengkolaborasikan musik Panting dengan gamelan Banjar maupun musik band, namun hanya dalam kesempatan tertentu saja. Kendati demikian, dalam pertunjukan biasa seperti dalam acara perkawinan, musik d. Musik Panting Tahun 1995, Era Tahun 2000-an, hingga SekarangUntuk menjaga kelestarian musik Panting di Kalimantan Selatan, khususnya di Desa Barikin, A. W. Syarbaini berinisiatif membina anak-anak untuk mempelajari musik ini. Pada tahun 1995, ia membina anak-anak setempat yang berusia antara 6-10 tahun untuk memainkan musik Panting. Kelompok anak-anak ini ia namai âMusik Panting Cilikâ, karena memang semua pemainnya terdiri dari anak-anak. Diharapkan anak-anak ini nanti akan menjadi generasi pelaku musik Musik Panting Cilik ini tidak seperti yang lazimnya dibawakan oleh orang dewasa. Instrumen musik yang digunakan lebih sedikit, yakni dua buah panting berukuran kecil, satu buah babun, agung basar, kampul, giring-giring, dan kulimpat, serta dua orang vokalis atau lebih. Musik Panting Cilik juga sering ditampilkan dengan format kolaborasi dengan gamelan Banjar, namun hanya dalam peristiwa tertentu Panting Cilik ini cukup menyita perhatian Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, kelompok ini sering diundang ke tingkat provinsi untuk mengisi acara tertentu. Ini antara lain dilakukan agar Musik Panting Cilik dapat lebih dikenal dan memasyarakat, terutama di daerah Kalimantan Selatan. Ini juga merupakan salah satu cara untuk menarik minat anak-anak untuk mau mempelajari dan lebih mengenal seni tradisi, sehingga pada gilirannya musik Panting khususnya, dan juga seni tradisi lainnya, dapat diwariskan terus dari generasi ke pemerintah daerah terhadap Musik Panting Cilik tidak hanya sampai di situ. Beberapa upaya lain juga dilakukan untuk mengenalkan dan melestarikannya. Pada tahun 1999, kelompok Musik Panting Cilik dari Barikin ini diutus untuk mengiringi teater anak dalam rangka Festival Teater Anak Nusantara Tingkat Nasional di Jakarta, dan berhasil meraih predikat musik terbaik. Tahun 2000, mereka kembali menjadi delegasi Kalimantan Selatan dalam Festival Musik 153Vol. 17 No. 3, Desember 2016Panting tetap disajikan dalam format lain dari musik Panting di Kalimantan Selatan adalah adanya beberapa grup musik Panting yang mengkolaborasikan musiknya dengan musik dangdut atau panting dangdut. Grup semacam ini juga disukai dan sering ditampilkan di tengah masyarakat, meski ada juga kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan panting dangdut semacam ini karena dianggap mengurangi nilai pandangan A. W. Syarbaini, kolaborasi panting dangdut adalah hal yang wajar, karena ia menganggapnya sebagai salah satu bukti bahwa musik Panting sudah berkembang di masyarakat. Kendati demikian, ia tetap bertahan dengan musik Panting dalam bentuk sajian tradisi, agar generasi berikutnya masih dapat mengetahui bentuk asli dari musik Panting. Pendapat ini selaras dengan beberapa tokoh seni di Kalimantan Selatan yang mengemukakan bahwa seni tradisi boleh berkembang, namun bentuk aslinya jangan sampai memelihara keberlangsungan musik Panting di Kalimantan Selatan, setiap tahunnya diadakan lomba musik Panting di tingkat provinsi, baik antarpelajar, guru-guru sekolah, dan antargrup musik Panting. Ini antara lain bertujuan agar musik Panting dapat juga berkembang di lembaga-lembaga pendidikan selain di masyarakat umum. Dengan demikian, keberlangsungan musik ini bisa tetap terpelihara dan diteruskan dari generasi ke generasi. Inilah yang antara lain menyebabkan hampir setiap sekolah di Kalimantan Selatan memiliki kelompok musik Panting dan musik ini menjadi salah satu pelajaran muatan Musik Panting sebagai Hasil Laku KreatifDesa Barikin, sebagai basis seni di Kalimantan Selatan, merupakan sebuah ruang yang sangat potensial bagi kehidupan seni itu. Mengapa demikian? Pertama, orang-orang yang tinggal atau hidup di desa ini, mau tidak mau, sengaja atau tidak, pasti banyak bersinggungan dengan aktivitas seni, baik itu secara pasif menjadi pendengar, penonton, penikmat maupun secara aktif menjadi pemusik, penari, penampil, dan semacamnya. Hal ini antara lain disebabkan karena banyak aktivitas seni yang terjadi di tempat ini. Kedua, dan pada dasarnya merupakan rangkaian dari alasan pertama, ada orang atau mungkin banyak orang di desa ini yang memiliki kemampuan dan dedikasi di bidang seni, yang kemudian membuat iklim berkesenian di Barikin menjadi aktif. Desa Barikin memiliki potensi seni, sehingga masyarakat jadi terlatih dan terpacu untuk berkesenian; sebaliknya, ada atau banyak orang di Desa Barikin yang mumpuni dalam bidang seni, sehingga kesenian di desa ini menjadi hidup dan berkembang. Tentu saja, kedua logika ini saling terkait membentuk suatu lingkaran yang sulit untuk ditentukan ujung pangkalnya. Kendati demikian, ini dapat dipahami sebagai bentuk aksi dan reaksi gambar 1.Salah satu tokoh seni yang ada di Barikin adalah A. W. Syarbaini. Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka bisa diasumsikan bahwa kondisi atau kehidupan seni di Barikin turut membentuk A. W. Syarbaini sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mumpuni di bidang seni, sementara di sisi lain keberadaan A. W. Syarbaini ini juga memberikan dorongan bagi geliat seni di Desa Barikin. Dengan kemampuan dan kepekaannya, A. W. Syarbaini mencoba merespon keadaan di Barikin, melihat adanya ruang-ruang yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk aktivitas baru. Bisa jadi beliau sendiri tidak berpikir tentang memunculkan sesuatu yang baru, melainkan hanya merespon saja apa yang ada. Namun, bisa juga ia memang sudah memikirkan akan munculnya sebuah bentuk japin gunung agaknya secara tidak langsung cukup memantik Syarbaini untuk Gambar 1. Keadaan seni di Barikin dan potensi sumber daya manusia dalam hubungan aksi dan reaksi. 154Lupi Anderiani, Musik Panting di Kalimantanbergerak dan membuat sesuatu yang berbeda. Awalnya ia hanya mengambil iringan musik japin gunung lalu menyajikannya dalam konteks yang baru, yakni pada bagian awal sebelum mulainya suatu pertunjukan inti, yang kemudian dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan banyanyanyian. Sajian musik japin gunung atau banyanyanyian, dalam perjalannya, ditambah dengan materi-materi dari zikir simak, maulid tarbang ampat, dan bagandut, hingga pada akhirnya memunculkan sebuah sajian pertunjukan baru, yang kemudian dinamai musik Panting. Sajian baru yang dipelopori ini kemudian diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Setidaknya ada satu alasan utama yang menyebabkan diterimanya musik Panting dalam masyarakat Desa Barikin karena musik ini masih berada dalam kerangka budaya masyarakat setempat, yakni budaya Melayu, dan tidak berbeda secara radikal dari kesenian-kesenian lokal menggunakan kerangka pikir aksi dan reaksi, musik Panting dapat dilihat sebagai hasil reaksi A. W. Syarbaini terhadap kesenian-kesenian yang lebih dulu ada, yakni mulai dari japin gunung, zikir simak, maulid tarbang ampat hingga bagandut. Dengan kata lain, kemunculan musik Panting merupakan hasil laku kreatif pelopornya dalam merespon atau bereaksi terhadap apa yang sudah ada, yakni memberi sentuhan pada bentuk pertunjukan menjadikannya sebagai sajian musik mandiri, mengambil lagu-lagu dari sejumlah sumber, dan menambah instrumentasi. Dalam konteks ini, meminjam istilah yang digunakan oleh Bruno Nettl 2015 57, A. W. Syarbaini dapat dipandang sebagai salah satu âmusicalgeniusâ dalam kebudayaan di Desa historis dan atau perjalanan waktu perlu dipertimbangkan sebab karya seni memperoleh pengaruh dari sejarah saat seni itu diciptakan. Seni memiliki karakter sesuai sejarahnya dan bentuk-bentuk seni yang dipresentasikan akan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan interaksi masyarakat pemilik kesenian dengan kondisi lingkungan sekitarnya; bagaimana kondisi eksternal mempengaruhi unsur internalnya Hauser, 2011 72. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi pola-pola budaya yang berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya mengalami perubahan sebagai konsekuensi perubahan masyarakat dan kebudayaan. Menurut Irawati 2016 17, Berkaitan dengan praktik-praktik seni khususnya seni pertunjukan, perlu dicermati bahwa transmisi tidak hanya terjadi antara pemain musik dan calon pemain musik, melainkan juga antara pemain musik dengan para khalayak penonton. Artinya, dalam suatu peristiwa, tidak hanya terjadi regenerasi pemain musik, melainkan juga regenerasi uraian data di atas yang diperoleh dari penelitian, terlihat bahwa musik Panting mengalami sejumlah bentuk perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat dikelompokkan sebagai Perubahan FungsiInstrumen panting pada awalnya merupakan perangkat yang digunakan untuk tujuan hiburan pribadi. Namun, dalam perjalanannya, fungsi panting berkembang menjadi hiburan masyarakat. Awalnya panting digunakan untuk mengiringi kesenian japin gunung di kalangan masyarakat pedalaman Kalimantan Selatan. Musik japin gunung seringkali disajikan secara mandiri, yakni dalam bentuk pertunjukan musik saja tanpa tarian, Gambar 2. Japin Gunung menjadi latar belakang munculnya musik Panîng yang dipelopori oleh A. W. 3. Kelompok Musik Panîng Ading Bastari dari Desa Barikin. Foto Lupi Anderiani, 2016 155Vol. 17 No. 3, Desember 2016sebagai hiburan sekaligus pembuka sebelum acara inti dimulai. Dalam bentuk ini, masyarakat setempat menyebutnya banyanyanyian. Selain itu, sekitar tahun 1970-an musik ini juga digunakan sebagai iringan tari tradisi sarana hiburan di tengah masyarakat yang berkembang dan dinamis merupakan salah satu penyebab hiburan musik japin begitu diminati oleh masyarakat. Selain itu, mereka memang belum pernah menyaksikan sajian ini sebelumnya. Setelah diterima oleh masyarakat, panting berkembang menjadi sebuah ansambel musik yang kemudian dinamakan musik Panting. Awalnya, musik Panting hanya digunakan sebagai sajian hiburan dalam acara-acara perkawinan saja. Namun, setelah berkembang di tengah masyarakat, musik ini juga diminati sebagai hiburan dalam kegiatan resmi di kalangan para pejabat Kalimantan Selatan. Setidaknya, ini memperlihatkan berkembangnya kelompok sosial yang tadinya masyarakat biasa ke pejabat dan lingkungan formal yang menaruh minat pada musik Perubahan Bentuk PenyajianPada tahun 1985, musik Panting disajikan dalam bentuk yang terbilang sederhana, terutama dalam segi peralatan, kostum, dan jumlah lagu yang dibawakan. Semakin meningkatnya pendidikan di kalangan masyarakat menyebabkan referensi mereka terkait dunia hiburan semakin bertambah, sehingga tuntutan mereka terhadap sarana hiburan pun semakin bertambah pula. Ini mendorong para seniman musik Panting untuk terus memberikan sentuhan perubahan pada kesenian yang mereka usung agar tetap diminati oleh masyarakat dan tidak terlindas oleh bentuk-bentuk kesenian lain, yang mungkin lebih mutakhir atau modern. Salah satu reaksi terhadap tuntutan itu adalah mengubah kemasan, menyajikan musik Panting dalam bentuk sajian Panting yang pada awalnya disajikan dalam bentuk âtradisionalâ mulai didukung dengan penggunaan perangkat sound system, kostum para penampilnya yang seragam, dan semakin banyaknya perbendaharaan lagu. Bahkan, sajian musik Panting dalam perkembangannya juga ada yang berbentuk kolaborasi dengan instrumen musik Barat, misalnya gitar, gitar bass, keyboard, dan instrumen lain. Selain itu, ada juga sajian musik Panting versi dangdut. Tempat penyajian musik Panting juga mengalami perubahan; yang tadinya hanya disajikan di panggung terbuka dalam acara perkawinan, dalam perjalanannya juga disajikan dalam ruangan tertutup atau gedung, baik dalam acara perkawinan maupun acara resmi pemerintah yang dihadiri pejabat, misalnya penyambutan tamu dari luar daerah, acara peresmian, dan Perubahan Pola Transmisi Pada tahun 1985, musik Panting disajikan dalam bentuk yang terbilang sederhana, terutama dalam segi peralatan, kostum, dan jumlah lagu yang dibawakan. Semakin meningkatnya pendidikan di kalangan Gambar 4. Instrumen Perkusi tambahan, Biola, Panîng, Agung-Kampul, dan Penyanyi, dalam kelompok Ading Bastari. Foto Lupi Anderiani, 2016Gambar 5. Instrumen suling dan Panîng dalam kelompok Ading Bastari. Foto Lupi Anderiani, 2016 156Lupi Anderiani, Musik Panting di Kalimantanmasyarakat menyebabkan referensi mereka terkait dunia hiburan semakin bertambah, sehingga tuntutan mereka terhadap sarana hiburan pun semakin bertambah pula. Ini mendorong para seniman musik Panting untuk terus memberikan sentuhan perubahan pada kesenian yang mereka usung agar tetap diminati oleh masyarakat dan tidak terlindas oleh bentuk-bentuk kesenian lain, yang mungkin lebih mutakhir atau modern. Salah satu reaksi terhadap tuntutan itu adalah mengubah kemasan, menyajikan musik Panting dalam bentuk sajian Panting yang pada awalnya disajikan dalam bentuk âtradisionalâ mulai didukung dengan penggunaan perangkat sound system, kostum para penampilnya yang seragam, dan semakin banyaknya perbendaharaan lagu. Bahkan, sajian musik Panting dalam perkembangannya juga ada yang berbentuk kolaborasi dengan instrumen musik Barat, misalnya gitar, gitar bass, keyboard, dan instrumen lain. Selain itu, ada juga sajian musik Panting versi dangdut. Tempat penyajian musik Panting juga mengalami perubahan; yang tadinya hanya disajikan di panggung terbuka dalam acara perkawinan, dalam perjalanannya juga disajikan dalam ruangan tertutup atau gedung, baik dalam acara perkawinan maupun acara resmi pemerintah yang dihadiri pejabat, misalnya penyambutan tamu dari luar daerah, acara peresmian, dan salah satu hasil kebudayaan, musik Panting juga mengalami fase kemunculan dan juga perubahan dalam keberlangsungannya. Ini sejalan dengan sifat kebudayaan yang dinamis dan adaptatif. Penelitian ini memperlihatkan bahwa suatu hasil kebudayaan bisa muncul sebagai respon atau reaksi terhadap keadaan yang ada. Hasil-hasil budaya yang sudah ada menjadi pemicu sekaligus benih terjadinya sebuah laku kreatif. Pada gilirannya, laku kreatif ini menghasilkan suatu bentuk yang baru. Sebagai salah satu tokoh seni di Desa Barikin, A. W . Syarbaini merespon japin gunung, mengambil iringannya dan meletakkannya dalam konteks yang berbeda, serta memasukkan elemen-elemen dari kesenian lain, yakni zikir simak, maulid tarbang ampat, dan bagandut, hingga muncullah sajian musik yang kemudian dinamakan dengan musik perjalanannya, musik Panting tidak bisa mengelak dari perubahan. Sejak awal kemunculannya hingga saat ini, musik Panting antara lain mengalami perubahan dalam hal berikut ini 1 Fungsi musik, yang tadinya merupakan hiburan pribadi, kemudian menjadi hiburan masyarakat. Selain itu, kelompok atau kelas sosial peminatnya juga mengalami perubahan, yang tadinya hanya di kalangan masyarakat, kini merambah diminati dalam acara-acara resmi yang dihadiri pejabat. 2 Bentuk penyajian, yakni dalam hal penggunaan sound system, kostum yang mulai menggunakan seragam, dan perbendaharaan lagu yang semakin banyak. 3 Kontruksi instrumen panting, yakni digantinya penutup resonator yang tadinya kulit dengan kayu tipis dan dibuatnya panting elektrik. 4 Pola transmisi, yang tadinya transmisi hanya terjadi secara langsung lewat pertunjukan live dan wilayah cakupannya terbatas, kini bisa diakses secara global melalui media digital virtual atau maya; dan transmisi yang tadinya terjadi di lingkungan masyarakat secara informal, kini juga ditransmisikan ke sekolah-sekolah dalam bentuk pembelajaran formal. Perubahan-perubahan ini terutama terjadi karena inisiatif dari para pelakunya dalam merespon keadaan masyarakat dan dinamika kebudayaan dan penerimaan masyarakat terhadap kemunculan dan perubahan musik ini, karena pada dasarnya musik Panting masih sangat kental mengusung elemen-elemen budaya masyarakatnya, yaitu Melayu. KepustakaanHauser, Arnold. 2011. îe Sociology of Art. London & New York Rouledge. Irawan, Andre. 2010. âSelawatan sebagai Seni Pertunjukan Musikal.â Resital Jurnal Seni Pertunjukan Vol. 11, No. 2, Desember 95- 157Vol. 17 No. 3, Desember Eli. 2013. Eksistensi Tingkilan Kutai Suatu Tinjauan Etnomusikologis. Yogyakarta Kaukaba Eli. 2016. âTransmisi Kelentangan dalam Masyarakat Dayak Benuaq.â Resital Jurnal Seni Pertunjukan Vol. 17, No. 1, April Mukhlis, dkk. 2006. Topeng Banjar di Barikin. Banjarmasin UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan B. 2015. îe Study of Ethnomusicolog yîirty-îree Discussions. Urbana University of Illinois N. H. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta Penerbit Yayasan M. I. 1981/82. Banjarmasih. Banjarmasin Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Bakhtiar, dkk. 2000. Pantun Madihin Lamut. Banjarmasin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I dan Dewan Kesenian Kalimantan Rasita, Timbul Haryono & Sri Hastanto. 2014. âKanca Indihiang sebagai Embrio Kreativitas Mang Kokoâ. Resital Jurnal Seni Pertunjukan Vol. 15, No. 1, Juni W. Syarbaini. Pegawai Negeri Sipil, Tokoh Seniman Panting, 1955-2016, Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Sanderta. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Taman Budaya, Tokoh Seni dan Budayawan Kalimantan Selatan, 65-an tahun, Kayu Tangi II Banjarmasin, Kalimantan Swasta, Pimpinan Kelompok Musik Panting Moneca, 43 tahun, Desa Masimpan, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Swasta, Pimpinan Kelompok Musik Panting Pandan Sari, 39 Tahun, Desa Tabat Padang, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Aini. Pegawai Negeri Sipil, Seniman dan Pencipta Lagu Musik Panting, 43 tahun, Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Riadi. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, Seniman Gandut, 60-an tahun, Desa Bungur, Kecamatan Bungur, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. ... Bentuk instrumen Panting sangat identik dengan gambus yang tersebar luas di Alam Melayu. Sebutan Panting diambil dari teknik memainkan instrumen tersebut, yakni dipetik-dipetik, dalam bahasa Banjar Hulu, adalah di-panting [12]. Instrumen Pantinghanya digunakan oleh masyarakat Banjar Hulu, sementara masyarakat Banjar wilayah pesisir menggunakan instrumen gambus Melayu. ...... Kedua, Panting merupakan nama dari sebuah ansambel musik, dengan instrumen Panting sebagai instrumen utamanya, selain juga instrumen suling, biola, babun sejenis kendang, kampul sejenis kempul, agung basar sejenis gong suwuk, kaprak atau marawis, kulimpatsejenis ketipung, dan kicik tamborin. Tangga nada yang digunakan mendekati atau sangat serupa dengan tangga nada diatonic [12]. Instrumen panting awalnya merupakan perangkat yang digunakan untuk hiburan pribadi, mengisi waktu luang saat sedang sendirian, dan belum disebut dengan "musik Panting". ...... Darah seninya ia warisi dari para pendahulunya serta didukung oleh lingkungan sekitar, sehingga jiwa seni beliau yang sudah dimiliki sejak kecil semakin kuat. Andilnya cukup besar dalam usaha pelestarian dan pengembangan budaya dan seni tradisional di Kalimantan Selatan [12]. ...Peradaban yang semakin maju dengan adanya teknologi digital telah membawa kita semua pada era baru, dimana perubahan terjadi dimana dan terasa sangat cepat. Perkembangan dan kemajuan teknologi digital sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai aspek. Teknologi telah mempengaruhi kehidupan ini dan tidak bisa dihindari, karena IPTEK memberikan banyak manfaat dan memudahkan pekerjaan. Rancang bangun alat musik daerah berbasis android yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengembangkan salah satu lat musik tradisional dari kalimantan selatan yaitu panting yang penggunaannya secara digital atau berbasis android. Pada penelitian ini motede yang kami gunakan adalah metode waterfall. Metode waterfall merupakan model pengembangan sistem informasi yang sistematik dan sekuensial. Pada penelitian ini menghasilkan sebuah aplikasi berbasis android yang berfungsi untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat agar dapat mengetahui informasi mengenai alat musik panting, sehingga dengan adanya aplikasi berbasis android ini, dapat meningkatkan minat masyarakat khususnya generasi muda dalam melestarikan budaya lokal atau budaya IrawatiKelentangan merupakan praktik musikal masyarakat Dayak Benuaq yang masih berkembang hingga saat ini. Musik ini diwariskan dari generasi ke generasi. Artikel ini bertujuan untuk memaparkan aspek-aspek transmisi kelentangan meliputi konten, pelaku, dan mekanisme transmisi. Pelaku utama dari transmisi kelentangan ialah para pemusiknya, sedangkan kontennya yang utama adalah kelentangan itu sendiri sebagai praktik musikal. Kelentangan ditransmisikan hampir selalu secara tidak disadari, baik oleh guru maupun murid. Guru melakukan eksternalisasi, sementara murid mengalami internalisasi. Proses ini umumnya terjadi dalam setting informal kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, misalnya dalam ritual pengobatan, berbagai pesta, dan peristiwa-peristiwa lain, bukan dalam sebuah setting pembelajaran yang SatrianaTimbul HaryonoSri HastantoKanca Indihiang adalah sebuah grup yang dibentuk oleh Mang Koko tahun 1946, yang termasukpada genre seni Jenaka Sunda, yakni seni pertunjukan dengan format seni humor. Kreativitas MangKoko dalam melakukan berbagai inovasi garap, membuat grup Kanca Indihiang sangat berbeda denganseni Jenaka Sunda pada umumnya. Nama Mang Koko terkenal sebagai pencipta genre seni baruatau dikenal dengan sebutan karawitan wanda anyar. Untuk mengungkap perkembangan kreativitasMang Koko, digunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnomusikologi. Berdasarkan hasilpenelitian dapat disimpulkan bahwa dalam wadah grup Kanca Indihiang, Mang Koko bereksplorasimemodernisasi kekakuan pakem seni kawih Sunda tradisi. Karawitan wanda anyar diyakini sebagaigenre karawitan Sunda yang terbentuk dari akumulasi kreativitas berkesenian dari Mang Indihiang As a Creativity Embryo of Mang Koko. Kanca Indihiang is a group which wasfirst created by Mang Koko in 1946 and is one of the Sundanese art genres that is a performing art withsuch a humorous art format. Mang Kokoâs creativity in doing works on a variety of innovations makes KancaIndihiang group may differ a lot from Sundanese humorous art in general. Mang Kokoâs name then becomesfamous as a creator of a new art genre called karawitan wanda anyarâ. Thus, a qualitative research applyingethno-musicological approach is done to uncover the development of Mang Kokoâs creativity. According to thisresearch, it can be concluded that within this Kanca Indihiang group, Mang Koko did some explorationsto modernize rigidity in the rules of traditional Sundanese kawih. Karawitan wanda anyar is believed as aSundanese karawitan genre shaped from the accumulation of Mang Kokoâs artistic Tingkilan Kutai Suatu Tinjauan EtnomusikologisEli IrawatiIrawati, Eli. 2013. Eksistensi Tingkilan Kutai Suatu Tinjauan Etnomusikologis. Yogyakarta Kaukaba MamanMaman, Mukhlis, dkk. 2006. Topeng Banjar di Barikin. Banjarmasin UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan./82. Banjarmasih. Banjarmasin Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan SelatanM I SalehSaleh, M. I. 1981/82. Banjarmasih. Banjarmasin Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Madihin Lamut. Banjarmasin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I dan Dewan Kesenian Kalimantan SelatanBakhtiar SandertaSanderta, Bakhtiar, dkk. 2000. Pantun Madihin Lamut. Banjarmasin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I dan Dewan Kesenian Kalimantan W InformanSyarbainiInforman A. W. Syarbaini. Pegawai Negeri Sipil, Tokoh Seniman Panting, 1955-2016, Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Kelompok Musik Panting Moneca, 43 tahunIyusSwastaIyus. Swasta, Pimpinan Kelompok Musik Panting Moneca, 43 tahun, Desa Masimpan, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Kelompok Musik Panting Pandan Sari, 39 Tahun, Desa Tabat PadangRomeoSwastaRomeo. Swasta, Pimpinan Kelompok Musik Panting Pandan Sari, 39 Tahun, Desa Tabat Padang, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Negeri Sipil, Seniman dan Pencipta Lagu Musik Panting, 43 tahun, Desa BarikinM AiniM. Aini. Pegawai Negeri Sipil, Seniman dan Pencipta Lagu Musik Panting, 43 tahun, Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
- Kalimantan Selatan adalah provinsi Indonesia yang memiliki penduduk asli yang disebut dengan Suku Dayak. Seiring dengan berkembangan jaman, Kalimantan Selatan mulai dimasuki oleh orang luar seperti Melayu, Jawa, Bugis, China, Arab, dan Suku Melayulah yang diperkirakan datang terlebih dahulu ke Kalimantan Selatan bahkan sebelum berdirinya Kerajaan banjar. Walaupun merupakan pendatang, Suku Melayu menjalin hubungan harmonis dengan Suku Dayak. Bahkan di antara kedunya terjadi penrcampuran darah yang menghasilkan suku baru yaitu Suku Banjar. Seperti suku-suku lainnya, Suku Banjar juga memiliki bahasa, adat-istadat, serta keseniannnya sendiri. Salah satu hasil kebudayaan Suku Banjar Kalimantan Selatan adalah alat musik Panting. Baca juga Daftar Alat Musik Tradisional di Indonesia Lupi Anderiani dalam jurnal berjudul Musik Panting di Desa Barikin Kalimantan Selatan Kemunculan, Keberadaan, dan Perubahannya 2016, menyebutkan bahwa istilah panting diambil dari teknik memainkan alat musik tersebut dengan cara dipanting atau musik panting terbuat dari kayu nangka dan memiliki bentuk seperti mandolin dan gitar namun lebih ramping. Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada bagian tubuh panting terdapat lubang kecil untuk resosnanasi suara sedangkan bagian bawahnya ditutupi oleh kulit binatang. Panting hanya memiliki empat buah dawai dan biasanya diukir dengan ukiran khas banjar. Alat musik panting biasanya tidak dimainkan sendirian, namun secara bersamaan dengan alat musik lainnya dan disebut dengan musik panting. Alat musik Panting khas Kalimantan SelatanMenurut Warisan Budaya Takbenda Indonesia, musik panting memainkan alat musik panting bersamaan dengan alat musik lainnya seperti babun kendang, gong, biola, ketipung, marawis, dan alat musik lainnya untuk mendapatkan irama yang merdu dan meriah. Baca juga Ganda, Alat Musik Daerah Sulawesi Tengah Rima Suryana dalam jurnal berjudul Nilai-Nilai Sosial dalam Penyakian Musik Panting di Banjarmasin 2015, menyebutkan bahwa musik Panting memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung berupa nilai religius, pendidikan, moral, estetis, dan adat istiadat yang disampaikan melalui musik kepada anggota masyarakat yang mendengarnya. Sehingga syair-syair merdu yang dimainkan musik panting sarat akan petuah dengan alunan menghanyutkan pendengarnya. Jika pada zaman dahulu panting hanya dimainkan dalam upacara dan ritual adat Suku Banjar, namun dewasa ini musik panting dilakukan dalam segala macam perhelatan seni, pernikahan, acara besar, hiburan, dan juga sebagai pengiring berbagai tarian tradisional. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
jelaskan mengenai penyajian musik dari kalimantan selatan