AtasUjianNasionalSBMPTNWirausaha Close Menu Open Menu Pertentangan, perselisihan, pertengkaran yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari hari dapat dinamakan .. Desember 2021 Author zonailmu Pertanyaan Pertentangan, perselisihan, pertengkaran yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari hari dapat Adapuntujuan dari pembuatan makalah ini adalah: 1.Memenuhi tugas UAS pelajaran Isu Isu Politik Kontemporer. 2.Mengetahui dan memahami penegertian dari konflik dan penyebab konflik. 3.Mengetahui bagaimana konflik antar etnis bisa muncul dalam sebuah Negara. 4.Memberikan solusi untuk penyelesaian konflik antar etnis dalam sebuah Negara. Inimenunjukkan bahwa bahasa adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tidak terkecuali suku Jawa yang juga memiliki bahasanya sendiri. Kerusuhan dan tawuran yang akhir-akhir ini sering terjadi bukan tidak mungkin disebabkan oleh jenis permainan anak yang cenderung mempengaruhi mereka Bagitokoh masyarakat tetaplah saling menjaga kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat, dengan memberikan contoh dengan menjalin hubungan baik antar tokoh masyarakat walaupun berbeda agama. Apabila hal ini sudah terjalin dengan baik maka masyarakatpun akan mengikuti teladan para tokoh masyarakat yang saling hidup rukun di tengah-tengah Jikasering terjadi kerusuhan maka kehidupan masyarakat menjadi tidak - 7380726 akbar592 akbar592 16.09.2016 Sejarah Sekolah Dasar terjawab Jika sering terjadi kerusuhan maka kehidupan masyarakat menjadi tidak 2 Lihat jawaban Iklan Vay Tiền Nhanh Ggads. Penelitian ini bertujuan mengetahui kehidupan multikultural orang Semarang. Dengan pendekatan eksploratif, penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan fenomenologi. Objek penelitian adalah kehidupan multikultural masyarakat Semarang. Untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan multikultural masyarakat Semarang maka ditetapkan subjek penelitian adalah 1 Warga Semarang yang memiliki pengalaman hidup multikultural, 2 Peristiwa-peristiwa yang merupakan manifestasi kehidupan multikultural di Semarang, 3 Bangunan, kawasan di Semarang yang merupakan karya cipta manusia dimana didalamnya melekat makna-makna multikultural. Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara dengan purposive sampling dan snowball sampling. Metode pengumpulan data dengan dokumentasi, observasi, wawancara, Focus Group Discussion, kuesioner. Metode analisis dengan analisis deskriptif dan analisis fenomenologi. Hasil penelitian dapat disimpulkan tentang unsur-unsur multikultral dan pola relasi multikultural masyarakat Semarang sebagai berikut 1. Budaya Jawa, Islam dan Cina memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan multikultural kota Semarang. 2. Dinamika relasi multikultural diantara kelompok sosial yang ada ditentukan oleh status sosial setiap kelompok. Beragam kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik itu kelompok etnis, agama pada dasarnya memiliki status sosialnya masing-masing, baik yang tinggi maupun rendah. Relasi lebih mudah berlangsung diantara kelompok sosial yang memiliki status sosial yang setara. Relasi yang terjadi antara kelompok sosial dengan status sosial yang berbeda dapat berlangsung melalui mobilitas sosial. 3. Faktor yang menentukan kemampuan warga untuk hidup secara multikultural adalah pendidikan dalam keluarga, keluasan dalam pergaulan, keluasan wawasan dan intelektualitas, sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas dan pengalaman kontak langsung. 4. Kehidupan secara multikultural lebih mudah berlangsung pada aktivitas publik seperti hubungan bertetangga, kerja, keagamaan, pendidikan, kesenian, pasar, sekolah, tempat tinggal, kelenteng, acara kesenian dan kawasan publik lainnya. Hambatan untuk menjalankan kehidupan multikultural lebih sulit berlangsung pada aktivitas sosial dengan tingkat keintiman yang tinggi seperti pernikahan. 5. Diperlukan kemampuan kepemimpinan multikultural baik pada pimpinan daerah seperti Gubernur dan Walikota beserta perangkatnya maupun para pemimpin komunitas etnis, agama yang ada. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme, di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, 9 Mei 2011 Kehidupan Multikultural Orang Semarang Oleh Drs. Budi Susetyo, MSi Drs. Edy Widiyatmadi, MSi Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang Pendahuluan Indonesia adalah negara multikultur, multi etnis, dan multiagama. Bruner dan Koentjaraningrat dalam Warnaen, 2001 mencatat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 300 suku bangsa dengan identitas kebudayaannya sendiri-sendiri. Indonesia juga memiliki keragaman agama yang dianut oleh masyarakat. Keragaman budaya, etnis, agama masyarakat ini dapat menjadi anugerah jika dikelola dengan baik, namun kegagalan dalam mengelolanya akan dapat menimbulkan musibah kemanusiaan. Keragaman masyarakat Indonesia ini menyebabkan dinamika kehidupan bersama yang bersifat majemuk. Implikasi positif dari kemajemukan dalam masyarakat sering digambarkan dengan konsep pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme menunjuk pada kerangka hubungan antarkelompok yang saling menghormati dan bekerjasama tanpa konflik Suaedy, 2007. Adapun multikulturalisme merupakan paham yang dikenalkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat majemuk yang harmonis, karena paham ini menghargai perbedaan dalam kesederajatan Suparlan, 2002. Untuk konteks Indonesia, konsep multikulturalisme rasanya lebih mewakili gambaran tentang implikasi positif yang diharapkan dari realitas kemajemukan masyarakatnya. Multikulturalisme dan implementasinya dalam bentuk hidup secara multikultural merupakan ranah perilaku yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang hidup di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia ini. Menurut Widiyatmadi 2005 karena kita hidup di Indonesia yang multikultural ini maka kita perlu menghayati dan menyadari secara riil realitas pluralistik masyarakat kita untuk kemudian mengganjurnya dalam langkah-langkah bertindak dalam konteks pluralitas tersebut. Perjalanan Indonesia menerapkan multikulturalisme bukan merupakan persoalan mudah. Ancaman separatisme, perpecahan dan konflik antarkelompok merupakan penanda bahwa hidup secara multikultural belum sepenuhnya dijalankan dalam bingkai bangsa Indonesia yang plural. Pendidikan multikultural merupakan cara yang disarankan untuk ditempuh dalam mengembangkan multikulturalisme di Indonesia. Pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan Asy’arie, 2004. Susetyo 2004 mengatakan bahwa peran pemerintah / penguasa nampaknya memiliki posisi sentral dalam penerapan multikulturalisme. Pemerintah perlu secara konsisten menjalankan fungsi fasilitasi, layaknya konduktor dalam sebuah orkestra, sehingga kesetaraan, perasaan berharga, pengakuan dan kebebasan dapat dirasakan oleh semua kelompok. Pemerintahan yang otoriter, fasis merupakan ancaman serius bagi aplikasi multikultiralisme pada masyarakat majemuk. Indonesia juga perlu belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah menerapkan paham multikulturalisme dalam mengelola kemajemukan bangsanya. Di Amerika Serikat dikenal prinsip blind color perspective yang menanamkan nilai moral baru yang anti diskriminasi warna kulit Judd dkk, 1995. Pemerintah Kanada menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk menghapuskan sikap diskriminatif dan kecemburuan budaya. Di Australia pandangan awal sebagian besar bersifat asimilasionis, tetapi akhirnya mengarah ke pandangan integrasionis; dan di tahun 1978, kebijakan tentang multikulturalisme secara formal dicanangkan. Di Swis kebijakan multikultural secara eksplisit ditetapkan pada tahun 1975 dengan tujuan kesamaan, kebebasan memilih dan kemitraan. Penerapan multikulturalisme pada negara-negara tersebut memerlukan proses, pergelutan yang panjang dan kemauan yang kuat dari semua komponen bangsa. Di Indonesia, implementasi multikulturalisme kiranya masih dalam proses perjalanan yang panjang. Banyak hambatan yang masih meranjau, terutama resistensi yang laten. Multikulturalisme di berbagai wilayah Indonesia sosoknya masih kabur. Bila pun multikuluralitas sering dilansir di berbagai forum, sebagian besar masih sebatas wacana dan kurang terimplementasikan secara nyata-hayati, konsisten dan berkesinambungan. Diperlukan kepedulian yang serius dari berbagai pihak untuk mengupayakan cara-cara yang lebih operasional dalam mendukung langkah-langkah pengimplementasian multikulturalisme tersebut. Semarang merupakan suatu potret masyarakat multikultural, karena keanekaragaman etnis, agama, budaya relatif mampu dikelola secara multikultural yang dilambari spirit unity in diversity dalam kehidupan sehari-hari. Bagi siapapun, karakter masyarakat kota Semarang yang multukultural itu dapat dijadikan sarana bercermin untuk mengembangkan keterampilan hidup secara multikultural. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi unsur-unsur yang berperan baik sebagai penunjang maupun pengancam’ dalam praktek hidup multikultural masyarakat Semarang serta mengintegrasikan kedalam hubungan-hubungan antar unsur sebagai dasar untuk memahami pola kehidupan multikultural di Semarang. Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan secara teoritis akan memperkaya khasanah pengetahuan khususnya tentang pola kehidupan multikultural khususnya pada masyarakat Semarang. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi pegangan dan dasar yang lebih kontekstual untuk memahami kehidupan multikultural di Semarang. Temuan penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangan model-model pendidikan multikultural dalam masyarakat khususnya di dunia pendidikan. Telaah Teori Psikologi Multikultural Kehidupan multikultural suatu masyarakat berakar dari tumbuhnya kesadaran multikultural yang menunjuk pada kondisi kesiapan mental untuk berperilaku dalam kehidupan bersama yang menempatkan bermaknanya perbedaan secara unik pada tiap orang Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia. Kesadaran ini ditopang oleh pengetahuan kognisi, perasaan afeksi serta disposisi perilaku yang berakar kuat pada keyakinan multikulturalisme; yakni suatu keyakinan yang mengakui dan menghargai perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kultural Parsudi, 2002. Masyarakat multikultural adalah masyarakat majemuk yang menghargai pluralisme dan memungkinkan keberagaman tetap lestari. Masyarakat multikultural menerima integrasi sebagai cara-cara untuk menghadapi keberagaman budaya. Multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengekspresikan identitasnya secara sehat dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antarkelompok yang positif. Sebaliknya masyarakat majemuk yang bukan multikultural adalah suatu masyarakat yang memungkinkan upaya pemerintah untuk menghomogenkan populasi melalui asimilasi, memecah-mecah mereka melalui separasi atau mensegmentasikan mereka melalui marjinalisasi dan segregasi Berry dkk, 1999 Kesadaran multikultural merupakan domain perilaku yang menentukan corak perilaku seseorang ketika hidup dalam masyarakat multikultural. Dalam teori Lapangan dari Kurt Lewin dalam Shaw dan Costanzo, 1982, Sarwono, 1999 dijelaskan tentang apa yang terjadi dalam jiwa seseorang sehingga terjadi persepsi dan perilaku yang bersifat menyeluruh. Menurut Kurt Lewin, perilaku behavior merupakan fungsi keadaan pribadi personality dan lingkungan enviroment, yang dirumuskan menjadi B = f P,E. Faktor-faktor dari luar pribadi maupun dari dalam pribadi terpetakan dalam lapangan kesadaran seseorang. Lapangan kesadaran ini digambarkan oleh Lewin sebagai lapangan yang terbagi-bagi dalam wilayah region. Tiap wilayah mewakili sesuatu dari dalam diri sendiri dan dari luar dirinya. Dalam konteks kehidupan multikultural, maka setiap individu yang hidup dalam masyarakat multikultural merekam tentang identitas dirinya yang berbeda dengan orang lain, dan menyadari berbagai perbedaan yang ada dalam lingkungan hidupnya. Kesadaran akan berbagai perbedaan kultural ini akan mengisi wilayah-wilayah dalam lapangan kesadaran seseorang, menentukan dinamika kesadaran multikultural seseorang berkaitan dengan konflik-konflik karena berbagai perbedaan, upaya-upaya yang dilakukan menjalin kerjasama, menumbuhkan sikap toleran karena perbedaan. Kehidupan multikultural suatu masyarakat terkait dengan hubungan interaksional antarkelompok dalam masyarakat heterogen. Dalam konteks relasi yang demikian maka kualitas kehidupan multukultural suatu masyarakat juga terkait pada bagaimana kemampuan masyarakat mengatasi berbagai stereotip dan prasangka yang berkembang, kemampuan menjalin kontak antar kelompok yang berkualitas dan kesetaraaan akan identitas sosial setiap kelompok yang hidup bersama. Fenomena stereotip dan prasangka selalu mewarnai setiap hubungan antarkelompok, dari taraf yang wajar sampai pada taraf yang memicu kualitas hubungan yang paling buruk. Dalam penelitian Susetyo 2002 tentang stereotip etnis Cina dan Jawa di Semarang serta Susetyo dan Hardiyarso 2003 tentang stereotip agama, maka stereotip muncul dalam bentuk penilaian positif dan negatif terhadap kelompok lain. Menurut Myers 1993 evaluasi negatif yang menandai prasangka dapat berasal dari asosiasi-asosiasi yang bersifat emosional, dari kebutuhan untuk membenarkan perilaku ataupun dari keyakinan negatif yang disebut dengan stereotip. Mengacu pada Susetyo 2002 hadirnya stereotip dalam relasi antar kelompok merupakan konsekuensi fenomena misperception, baik karena adanya kecenderungan manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan atribusi, terbatasnya kesempatan kontak, adanya pengalaman masa lalu yang membangun kesan stereotipik suatu kelompok terhadap kelompok lain. Stereotip merupakan unsur fundamental yang mampu menggambarkan intensitas prasangka dan kualitas relasi antaretnis. Salah satu permasalahan dalam relasi antar kelompok adalah adanya hambatan yang bersifat fisik untuk terjadinya kontak antar kelompok. Fenomena tersebut menurut pandangan teori hipotesis kontak dalam Leyens dkk, 1994 menciptakan suatu kegagalan mengenal kelompok lain akibat ketidaktahuan ataupun tidak adanya informasi yang akurat faulty ignorance, memicu berkembangnya stereotip dan prasangka dalam intensitas yang menguat. Adanya situasi kontak akan membuka kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan informasi baru. Namun diperlukan kontak yang berkualitas, dimana mengacu pada pendapat Cook dalam Leyens dkk, 1994 diperlukan kontak yang menekankan kedudukan yang sederajat, tidak mengungkit-ungkit citra negatif masing-masing kelompok, terjadi interdepensi hubungan yang bermutu yaitu adanya kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, situasi kontak yang mengarah pada pengenalan sebagai individu dan bukan pada pengenalan individu sebagai anggota suatu kelompok. Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Identitas individu yang ditampilkan setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya Taylor dan Moghaddam, 1994 Menurut Hogg dan Abram 1988 di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok. Taylor & Moghaddam 1994 mengemukakan bahwa aplikasi multikulturalisme dalam masyarakat majemuk memfasilitasi terciptanya pengakuan dan kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol etnisnya bahasa, budaya dan hal ini akan membuatnya lebih percaya diri dan merasa tidak terancam secure. Metode Penelitian Maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian deskriptif dan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Objek penelitian adalah kehidupan multikultural masyarakat Semarang. Untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan multikultural masyarakat Semarang maka ditetapkan Subjek penelitian adalah 1 Warga Semarang yang memiliki pengalaman hidup multikultural. 2 Peristiwa-peristiwa yang merupakan manifestasi kehidupan multikultural di Semarang. 3 Bangunan, kawasan di Semarang yang merupakan karya cipta manusia dimana didalamnya melekat makna-makna multikultural. Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara dengan purposive sampling dan teknik pengambilan sampel bola salju snowball sampling. Metode analisis dengan analisis deskriptif dan analisis fenomenologi. Metode pengumpulan data dengan 1 Dokumentasi untuk mendokumentasikan data sekunder yang relevan, 2 Observasi dengan melakukan pengamatan langsung terhadap unsur-unsur multikultural di lapangan, 3 Wawancara terhadap warga Semarang yang memiliki pengalaman multikultural. 4 Focus Group Discussion 5 Kuesioner untuk mengungkap tentang prasangka, stereotip, jarak sosial. Hasil Penelitian 1. Sekilas Tentang Kota Semarang Semarang memiliki jumlah penduduk jiwa data tahun 2004. Komposisi keberagaman suku bangsa dapat diperinci sebagai berikut suku Jawa 93,24 %, Cina 4,33 %, Sunda, Priangan 0,71 %, Batak, Tapanuli 0,25 %, Madura 0,15 %, Minang 0,05 %, Betawi 0,07%, Arab 0,09 %, lainnya 1,1 % 2. Semarang Kota Multikultural Sebagai kota multikultural, Semarang dihuni warga dengan beragam suku bangsa, agama. Sejumlah kawasan yang kental dengan karakter multikultural seperti di distrik Pecinan, Pekojan, Kauman. Setidakknya terdapat tiga budaya utama yang berpengaruh kuat yaitu Jawa, Cina dan Islam. 3. Titik Perjumpaan Kehidupan Multikultural Pagoda Avestolika di Watugong Di Semarang dijumpai beberapa kawasan, aktivitas yang menjadi titik perjumpaan untuk memfasilitasi berlangsungnya kehidupan multikultural seperti yang berlangsung di kelenteng-kelenteng, Waroeng Semawis, Pasar Gang Baru, kawasan multietnik Pekojan. 4. Pengalaman Hidup Multikultural Penelitian ini mewancarai enam subjek yang memiliki pengalaman multikultural yang berkesan dan kuat, sehingga mereka mampu bercerita dan berbagi pengalaman dengan cara yang berkesan pula. 5. Kehidupan Multikultural di Sekolah Dengan dilakukan FGD terhadap 10 siswa SMA, 8 mahasiswa maka diperoleh gambaran tentang kehidupan multikultural di sekolah. 6. Kehidupan Multikultural Kos Ada 5 subjek mahasiswa yang diwawancarai terkait dengan pengalaman multikultural di kos. Ketika berinteraksi dengan berbagai etnis di kos subjek menjadi menyadari perbedaan, mengembangkan sikap toleransi dan menghargai satu sama lain, lebih bisa membaur dengan orang yang berbeda. 7. Pacaran Beda Etnis Dari pengalaman pacaran beda etnis subjek belajar untuk tidak mempermasalahkan status keturunannya yang berbeda. Namun hambatannya terkadang lebih karena penolakan ataupun ketikdaksetujuan dari keluarga. 8. Stereotip, Prasangka dan Jarak Sosial Penelitian tentang stereotip dan prasangka etnis dilakukan terhadap Subjek mahasiswa Jawa dan Subjek mahasiswa Cina untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas relasi antaretnis Cina dan Jawa di Semarang. Jarak sosial adalah seberapa dekat atau intim subjek dapat melakukan aktivitas sosial bersama target, melibatkan subjek kalangan mahasiswa Jawa dan Cina di beberapa perguruan tinggi di Semarang. Perspektif Psikologi Kehidupan Multikultural Orang Semarang Pembahasan dapat bertitik pangkal pada orang Jawa dan Cina di Semarang yang memiliki pola relasi multikultural yang khas. Mengacu pada Subjek Y, di kalangan orang Jawa Semarang dapat dibedakan antara orang Semarang asli dan orang Jawa golongan pendatang. Yang membedakan membedakan mereka adalah orientasi budaya yang dianut. Orang Semarang asli lebih mengadopsi berbagai budaya secara campuran seperti budaya pesisir, Islam, Arab, Cina, Kejawen. Golongan Jawa pendatang biasanya berorientasi pada budaya asal mereka. Namun yang menonjol adalah mereka yang berorientasi pada budaya Jawa Solo ataupun Yogya yang dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi. Dalam tataran pergaulan sosial orang Semarang asli merasa memiliki tingkatan yang lebih rendah dalam nilai-nilai dan budaya dibanding orang Jawa yang berorientasi pada budaya kraton atau berorientasi priyayi. Di kalangan orang Cina dapat dibedakan antara Cina totok atau singkek yang berorientasi pada budaya asli Cina dan Cina peranakan yang berorientasi pada budaya Barat. Disamping itu ada juga Cina Islam, yang menurut subjek Fa mengalami penurunan derajat sosial paling rendah dimata orang Cina sendiri karena menjadi Islam. Mengacu pada teori identitas sosial bahwa pada setiap kategori sosial melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur sosial yang menentukan kekuatan dan status hubungan antar individu dan antarkelompok. Demikian pula dengan kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik Jawa, Cina maupun yang lain melakukan proses pembandingan sosial yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya. Berpijak pada pemahaman tersebut peneliti melihat bahwa masing-masing kelompok yang ada sudah mengetahui citranya masing-masing dibanding kelompok lain. Selalu ada upaya untuk memiliki identitas sosial yang positif serta berusaha mempertahankannya. Di kalangan Cina peranakan yang merasa memiliki citra sosial tingkat atas akan menjaga citra tersebut dengan lebih banyak menjalin relasi dengan kalangan yang dipandang setingkat, misalnya para pejabat, kalangan ningrat, priyayi dan menjaga jarak dengan golongan yang lebih rendah. Golongan Cina yang didikan Barat ini bersikap sebagai ndoro yang akan sungguh-sungguh akan menjaga jarak dengan pembantunya di rumah. Dalam hal perjodohanpun tetap dijaga agar memiliki jodoh yang setingkat. Kemudian muncul istilah perawan gedongan’, gadisnya mahal maka yang melamar harus kaya. Kalangan Cina totok lebih membaur termasuk dengan kalangan pribumi. Hal tersebut karena mereka merasa memiliki status sosial yang tidak jauh berbeda karena di daerah asalnya mereka juga berasal dari desa dengan ketrampilan pekerja kasar. Ketika mereka membaur dengan pribumi tidak memperburuk citranya, namun justru mendapat manfaat fungsional yang lain misalnya untuk kepentingan usaha / bisnisnya maupun untuk kepentingan relasi sosial yang lain. Dari kalangan Cina totok ini relasi yang lebih intim dengan orang Jawa seperti perkawinan lebih mungkin berlangsung. Seperti yang terjadi pada kakek Subjek G menikah dengan perempuan Jawa sebagai istri ketiga agar bisa mendapatkan keturunan anak laki-laki. Di kalangan ini juga biasanya bersikap lebih dekat dengan pembantu di rumah. Seperti yang dikatakan oleh Subjek H mereka biasanya ngopeni para pembantunya sehingga krasan ikut bertahun-tahun. Modus Cina Islam untuk menaikkan citra identitas sosialnya yang terpuruk juga cukup menarik. Menjadi Islam di kalangan orang Cina konon merupakan aib besar bagi komunitas Cina. Itulah sebabnya mereka biasanya diberi sanksi sosial dengan label-label negatif tertentu, bahkan derajatnya turun, ke-Cina-annya mungkin dianggap hilang, dikucilkan, bisa saja diusir. Memiliki identitas sosial yang sedemikian rendah merupakan pengalaman fenomenal yang menyesakkan dan selalu ada upaya untuk lepas dari citra tersebut. Mengacu pada teori identitas sosial maka upaya untuk menaikkan citra identitas sosial kelompok dapat dilakukan melalui perubahan sosial yaitu dengan meningkatkan citra positif kelompok. Hal tersebut diantaranya melalui pendekatan organisasi seperti PITI Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia yang eksistensinya semakin diakui, publikasi informasi positif tentang Cina Islam. Upaya menaikkan citra indentitas sosial juga dapat dilakukan dengan mobilitas sosial yaitu perpindahan individu dari kelompok yang lebih rendah ke lebih tinggi. Hal ini terjadi di kalangan orang Jawa golongan bawah yang ikut atau bekerja pada orang Cina. Mobilitas sosial yang dilakukan memang tidak dalam bentuk perubahan total namun sifatnya lebih mengadopsi ataupun belajar dari kebiasaan positif orang Cina. Banyak penjual makanan-makanan khas Cina seperti lumpia adalah orang Jawa seperti terlihat di sepanjang Jl. Mataram Haryono. Menurut Subjek Y, mereka yang pinter ketika ikut tauke bos Cina akan bekerja loyal, mau belajar cara hidup dan cara dagang bos. Setelah merasa cukup biasanya berani merintis usaha sendiri dan jika sukses bisa menjadi juragan. Jika bertitik tolak pada hasil penelitian tentang stereotip dan prasangka terlihat bahwa relasi antara orang Cina dengan orang Jawa di Semarang pada dasarnya dapat berlangsung dengan wajar. Dari kalangan orang Jawa memiliki pandangan positif tentang etos kerja orang Cina rajin, pandai, suka bekerja keras, bukan tipe pemalas. Namun untuk membangun relasi yang lebih akrab dan dekat nampak masih ada hambatan karena adanya pandangan negatif di kalangan orang Jawa bahwa orang Cina itu memiliki sifat tertutup terhadap orang bukan Cina. Demikian juga orang Cina dianggap berorientasi pada materi. Mengacu pada pendapat Wasino 2006 hal ini membuat relasi menjadi kurang klop karena orang Jawa itu lebih mengedepankan noto roso sedangkan orang Cina lebih mengedepankan noto bondho. Dari pihak orang Cina sendiri juga ditemukan pandangan positif terhadap orang Jawa yaitu bahwa orang Jawa itu pada umumnya orang yang sopan, ramah, baik. Hal ini sebenarnya merupakan sinyal positif untuk membangun relasi yang lebih dekat dengan orang Jawa. Namun demikian untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan bisnis ataupun dunia kerja, orang Cina pada umumnya kurang begitu mempercayai kemampuan orang Jawa. Hal ini karena masih berkembangnya pandangan negatif bahwa orang Jawa itu pemalas, kurang memiliki jiwa bisnis, kurang perhitungan dalam bertindak. Sehubungan dengan pola relasi tersebut diatas maka berdasarkan pengakuan Subjek I yaitu orang Cina yang banyak bersahabat dengan orang Jawa, maka Subjek I ketika bergaul dengan orang Jawa akan menghindari menampilkan sikap dan tindakan yang kurang disenangi orang Jawa, yaitu dengan menghindari pembicaraan tentang untung rugi, masalah perhitungan-perhitungan. Kalau dengan Cina khususnya dengan orang yang baru dikenal, ia akan berbicara tentang keluasan relasinya dengan orang-orang Cina. Pengalaman Subjek B orang Jawa ketika pertama kali datang ke Semarang dan masuk dunia bisnis, maka ia merasa dipandang sebelah mata oleh kolega bisnis orang Cina. Ia perlu usaha keras dan mencoba berbagai cara untuk meyakinkan bahwa walaupun orang Jawa ia juga mampu berbisnis. Dalam hal ini ia banyak melakukan pendekatan kekeluargaan, misalnya dengan mengirim makanan. Dari data tentang jarak sosial yang mengungkap berbagai kemungkinan aktivitas dua pihak dengan mempertimbangkan dimensi keintiman terlihat ada pola yang khas dalam relasi multikultural antara orang Cina dan Jawa. Orang Cina pada dasarnya mampu bergaul dengan orang Jawa dalam bentuk persahabatan, kehidupan bertetangga baik di tempat tinggal maupun di kos-kosan untuk mahasiswa. Pergaulan di tempat kerja maupun di sekolah juga tidak ada persoalan. Namun demikian untuk relasi yang lebih intim seperti pacaran, perkawinan dan hubungan saudara ipar maka terjadi penolakan lebih kuat dibanding orang Jawa. Pada orang Jawa yang sudah biasa berinteraksi dan mengenal orang Cina maka persahabatan, hubungan bertetangga dan hubungan di tempat kerja ataupun sekolah relatif tidak terjadi penolakan yang berarti. Untuk relasi yang lebih intim seperti pernikahan, pacaran dan hubungan saudara ipar terjadi penolakan yang lebih kuat namun tidak sekuat penolakan orang Cina. Namun pada orang Jawa yang kurang biasa bergaul dan bertemu dengan orang Cina terjadi penolakan yang lebih kuat dibanding orang Jawa yang biasa berinteraksi dan bertemu dengan orang Cina . Hal tersebut terjadi pada semua aktivitas baik aktivitas antarpribadi, aktivitas di tempat tinggal dan aktivitas di kampus. Pada tataran praksis sehari-hari gambaran dari kecenderungan di atas diantaranya tercermin dari informasi yang disampaikan Subjek I dan B bahwa dalam hal perkawinan antara orang Jawa dan orang Cina maka penolakan lebih kuat terjadi pada keluarga Cina. Di kalangan keluarga Cina masih berkembang pandangan negatif jika memiliki menantu orang Jawa. Jika pihak Jawa adalah perempuan maka diyakini suka menghabiskan harta mertuanya. Jika pihak Jawa adalah laki-laki maka biasanya diragukan dalam kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya. Dari pihak keluarga Jawa biasanya relatif moderat. Mungkin saja di awal terjadi penolakan. Misalnya dalam kasus pacaran Subjek An pria Jawa dengan gadis Cina maka Ibunya pernah berkomentar”Apa ora ana liyane apa tidak ada gadis lain” ? Namun ketika terlihat bahwa mereka berpacaran sungguh-sungguh dan sudah sama-sama senang biasanya pandangan orangtua berubah. Sebagaimana dikemukakan Subjek B bahwa orangtua pihak Jawa yang bijaksana biasanya akan memberikan gambaran resiko-resiko yang akan dihadapi jika hubungan diteruskan. Menurut B orang Cina tidak mudah menerima orang bukan Cina untuk diterima secara akrab dan lebih akrab lagi. Kebanyakan relasi yang dibangun lebih bersifat fungsional misalnya dalam urusan bisnis. Kebanyakan akan diterima di toko ataupun di luar rumah. Dari sedikit orang yang dapat diterima sebagai sahabat akrab dan kemudian diajak makan di rumah, diperlihatkan foto-foto maka hal ini lebih disebabkan faktor kecocokan pribadi. Kalau sudah seperti ini orang Cina biasanya tidak perhitungan lagi. Namun demikian bentuk relasi yang sifatnya lebih netral kiranya dapat memfasilitasi berlangsungnya relasi multikultural yang intensif. Misalnya dalam hubungan persahabatan, hidup bertetangga, aktivitas di sekolah ataupun pekerjaan, kesenian. Seperti yang berlangsung dalam kehidupan di rumah kos, para Subjek mengaku bahwa mereka mendapatkan pengalaman positif ketika harus hidup bersama dengan teman-teman kos yang berasal dari berbagai etnis dan agama. Mereka pada umumnya memiliki kesempatan mengenal lebih banyak sifat-sifat teman kos yang berbeda-beda tersebut. Mereka yang pada awalnya berprasangka, ketika berkesempatan berinteraksi langsung dapat melakukan konfirmasi tentang mana yang tepat dan kurang tepat. Pada umumnya Subjek dapat menyadari semua orang memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Yang menarik dari ke lima Subjek memiliki pendapat bahwa jika terjadi konflik ataupun ketidak sesuaian lebih disebabkan oleh sifat-sifat pribadi, bukan masalah perbedaan etnis. Dalam teori hipotesis kontak dikatakan bahwa adanya kesempatan kontak akan membuka kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan informasi baru. Namun juga ditekankan terciptanya kondisi kontak yang berkualitas yang mengedepankan kesederajatan, hubungan yang saling menghargai dan kontak-kontak interpersonal. Pembahasan berikut adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang terbentuknya kemampuan hidup multikultural. Berdasarkan pengakuan pengalaman multikultural subjek maka kemampuan hidup secara multikultural dipengaruhi oleh 1. Pendidikan multikultural dalam keluarga. Hal tersebut terutama terungkap dalam pengalaman Subjek Y, I dan B. Subjek Y memiliki orang tua yang bergaul dengan siapa saja baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah. Keluarga Subjek I termasuk langka karena sebagai keluarga Cina mau tinggal di kampung. Bapak Subjek I orang yang akrab dan banyak bergaul dengan orang Jawa, mampu berbicara cara halus krama dalam bahasa Jawa. Subjek B memiliki bapak yang diterima sebagai sahabat baik oleh keluarga Cina dan sejak kecil Subjek terbiasa bergaul dengan anak-anak Cina. 2. Keluasan dalam pergaulan Semua Subjek memiliki pergaulan yang luas atau setidaknya pergaulan yang lebih terbuka. Pengalaman G, H sejak kecil termasuk anak Cina yang suka blusukan dan tidak hanya bergaul dengan orang Cina saja. G bahkan bergaul dengan anak Kauman, anak dari kalangan bawah, anak tentara. G mengaku bahwa ia lebih banyak memiliki kawan Jawa daripada kawan Cina. H merasa berbeda dengan adik adiknya yang sejak SD sudah disekolahkan ke Singapura. Ia punya kesempatan blusukan sampai SMA sebelum akhirnya melanjutkan sekolah di Amerika. Sampai sekarangpun H masih bergaul dengan siapa saja baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah, maupun bermacam agama dan etnis. Subjek I sejak mahasiswa juga banyak bergaul dan punya teman dekat non-Cina. 3. Keluasan wawasan dan intelektualitas Hal tersebut nampak kuat pada pemikiran-pemikiran H dalam menjelaskan konsep dan pandangannya tentang bagaimana secara praksis menjalankan kehidupan multikultural dalam masyarakat. Seperti ketika menjelaskan dasar pemikirannya untuk merevitalisasi kawasan Pecinan lebih terbuka, ia mampu menelaah dari sisi lain yang selama ini kurang dilihat atau diperhitungkan orang seperti membuka Pecinan untuk umum. Ia menggunakan istilah membalik logika. Kalau orang kebanyakan menolak karena takut nanti kawasan Pecinan dijadikan sasaran pertama ketika terjadi kerusuhan, namun H justru berpikiran bahwa jika Pecinan terbuka justru akan dilindungi oleh yang lain. Juga dasar pemikirannya untuk ikut mendorong kemajuan golongan lain dalam rangka mencapai harmoni secara keseluruhan. Ia mencoba mengimplementasikan pandangan seorang ahli Konfusius yang mengatakan, “yang membesarkan kamu bukan kamu sendiri tetapi orang lain. Kalau kamu mau memupuk tanaman jangan langsung di tanamannya namun tanah di sekitar tanaman”. 4. Sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas Hal tersebut nampak kuat ditemukan pada prinsip-prinsip yang dijalankan oleh Subjek Y. Ia pribadi yang memiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sejak kecil ia diajarkan orangtua dan kakek neneknya untuk bergaul dan membantu siapa saja. Hal ini yang ia jalankan sampai sekarang. Ia bergaul dan membantu siapa saja tanpa membeda-bedakan golongan. Orang-orang seperti Y mampu melampaui orientasi berlebihan pada golongan etnosentrisme yang seringkali menjerat orang ke dalam kotak-kotak. 5. Pengalaman kontak langsung Subjek G mengaku bahwa keterbukaan sikapnya terhadap kehidupan multikultural ketika kuliah di Yogya. Disana ia merasa tidak dibeda-bedakan, dipanggil Mas’. Saat itulah ia mulai terbuka untuk belajar kesenian Jawa. Subjek punya tekad untuk berubah yaitu dengan meninggalkan ke-Cina-annya dan ingin lebih menjadi orang Indonesia. Pengalaman kontak langsung mampu membuka wawasan multikultural Subjek yang kos dengan kawan berbagai etnis dan agama, juga sangat kentara sekali pada siswa yang sekolahnya menerima siswa beragam etnis seperti di SMA Loyola. Hal lain patut dicermati adalah dinamika kehidupan lintas distrik seperti Pecinan, Kauman, Pekojan dan juga distrik kawasan Pemerintahan baik Pemkot Semarang maupun Gubernur Jawa Tengah. Pengalaman Subjek G ketika kecil adalah diejek oleh anak-anak Kauman” “Balik kana neng Tiongkok” ketika bermain distrik Islam tersebut. Hal tersebut memberikan kesan dan pengalaman negatif bahwa kawasan Kauman tidak dapat menerima dirinya karena ia orang Cina. Demikian pula ketika budayawan Djawahir Muhammad memprotes pemasangan lampion di jalan-jalan utama Semarang pada waktu Semarang Pesona Asia menunjukkan bahwa orang harus mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di distrik tertentu. Secara fisik penandanya jelas dapat dilihat pada distrik-distik tersebut. Kalau di Kauman distrik Islam dengan cirinya adalah Masjid Agung Kauman. Pecinan memiliki penanda bangunan fisik berupa kelenteng. Kawasan pemerintahan ditandai oleh gedung-gedung pusat pemerintahan. Untuk membangun relasi yang lebih harmonis lintas distrik memang diperlukan aturan main dan kepekaan tertentu tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Memang menjadi sulit dan kurang luwes jika jika hanya berpijak pada aturan main itu dituangkan secara tertulis. Yang lebih penting sebetulnya inisiatif ataupun kemauan baik masing-masing pihak untuk mengatasi dan menghindari konflik. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran kepala daerah baik Walikota maupun Gubernur sebagai fasilitator dan penengah diantara komunitas budaya yang beragam. Kehadiran Walikota ataupun Gubernur dalam berbagai acara yang bernuasa etnis ataupun agama seperti Dugderan, Festival Cheng Ho, Festival Pasar Jawi merupakan salah satu tindakan strategis untuk menunjukkan sikap adil terhadap semua kelompok. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keberadaan semua kelompok masyarakat dan budaya yang ada di Semarang. Gaya kepemimpinan multikultural khas Semarang memiliki peran kunci untuk menjaga keselarasan multikultural. Fenomena kelenteng Sam Poo Kong sebagai rumah ibadah yang inklusif merupakan salah satu fenomena multikultural khas Semarang. Menurut pendapat peneliti ada sejumlah faktor yang mendorong kelenteng Sam Poo Kong menjadi multikultural. Pertama adalah faktor historis kisah Laksamana Cheng Ho yang menjadi semacam mitos yang mendorong kepada keyakinan yang kuat terutama sikap multikultural dari Cheng Ho. Disamping itu komunitas Cina Semarang sekarang ini memiliki kepentingan kuat untuk untuk menjalankan ritual budaya Cina yang juga terkait dengan persoalan historis. Terkait dengan berbagai kepentingan tersebut maka ada kata kunci yang mampu mencairkan yaitu kelenteng Sam Poo Kong merupakan monumen hidup pluralisme keagamaan. Jadi fungsi kelenteng selain sebagai tempat peribadatan bagi pemeluknya juga terbuka untuk objek wisata bernuansa relijius. Modus yang terjadi pada kelenteng Sam Poo Kong tersebut menurut teori Lapangan merupakan proses pencairan permiabilitas kawasan yang lebih membuka diri bagi berlangsungnya kehidupan multikultural. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan tentang unsur-unsur multikultral dan pola relasi multikultural masyarakat Semarang sebagai berikut 1. Budaya Jawa, Islam dan Cina memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan multikultural kota Semarang. 2. Dinamika relasi multikultural diantara kelompok sosial yang ada ditentukan oleh status sosial setiap kelompok. Beragam kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik itu kelompok etnis, agama pada dasarnya memiliki status sosialnya masing-masing, baik yang tinggi maupun rendah. Relasi lebih mudah berlangsung diantara kelompok sosial yang memiliki status sosial yang setara. Relasi yang terjadi antara kelompok sosial dengan status sosial yang berbeda dapat berlangsung melalui mobilitas sosial. 3. Faktor yang menentukan kemampuan warga untuk hidup secara multikultural adalah pendidikan dalam keluarga, keluasan dalam pergaulan, keluasan wawasan dan intelektualitas, sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas dan pengalaman kontak langsung. 4. Kehidupan secara multikultural lebih mudah berlangsung pada aktivitas publik seperti hubungan bertetangga, kerja, keagamaan, pendidikan, kesenian, pasar, sekolah, tempat tinggal, kelenteng, acara kesenian dan kawasan publik lainnya. Hambatan untuk menjalankan kehidupan multikultural lebih sulit berlangsung pada aktivitas sosial dengan tingkat keintiman yang tinggi seperti pernikahan. 5. Diperlukan kemampuan kepemimpinan multikultural baik pada pimpinan daerah seperti Gubernur dan Walikota beserta perangkatnya maupun para pemimpin komunitas etnis, agama yang ada. DAFTAR PUSTAKA Ashmore, dkk. 2001. Social Identity, Intergroup Conflict, and Conflict Reduction. New York Oxford University Press Asya’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas, 3 September 2004. Baron, Byrne, D. & Suls, Exploring Social Psychology. Boston Allyn and Bacon. Berry, dkk. 1999. Psikologi Lintas Budaya. Riset dan Aplikasi. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama. Hogg, & Abram, Social Identification A Social Psychology of Intergroup Relation and Group Processes. London Routledge. Judd, el al. 1995. Stereotype and Etnocentrism Diverging Interethnic Perception of Africa American and White American Youth. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 69, 3,460-481. Leyens, Yzerbyt, V & Schadron, Stereotype and Social Cognition. London Sage Publications Ltd. Myers, Social Psychology. 4rd. ed. New York Shaw, M. E & Costanzo, 1982. Theories of Social Psychology. Singapore McGraw-Hill. Inc. Sarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta Balai Pustaka. Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Makalah. Simposium Internasional Bali ke 3. JurnalAntropologi Indonesia. Denpasar 16 – 21 Juli 2002 Susetyo, Stereotip dan Relasi Antar Etnis Cina dan Etnis Jawa Pada Mahasiswa di Semarang. Tesis. Tidak diterbitkan. Depok Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. -. 2004. Mengelola Perbedaan dalam Masyarakat Majemuk. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Aplikasi Multikultural Pada Masyarakat Majemuk, Pusat Studi Etika Unika Soegijapranata Semarang – 5 Februari 2004 Susetyo, dan Hardiyarso, Stereotip Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Seri Kajian Ilmiah. Vol. 12 No. 3 Hal. 131-200. Taylor, & Moghaddam, Theories of Intergroup Relations. London Praeger. Warnaen, S. 2001. Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta Penerbit Mata Bangsa Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 – 1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. 22-25. ... Disisi lain, Kota Semarang juga tak luput dari kesejarahan Tionghoa Muslim Thian Joe, 2004. Kota ini pun memiliki beberapa daerah yang lekat dengan budaya Jawa, Islam, dan Cina Susetyo, 2011. Sehingga, kalangan PITI Semarang menjadi pilihan tepat untuk menilik proses pembentukan identitas sosial-budaya Tionghoa Muslim. ...The New Order government encouraged ethnic Chinese Indonesians as the local population, resulting new identity as Chinese Muslims, then the group formed PITI. This research is analyzing the forming of Chinese Muslim socio-cultural identity among PITI from the perspective of Tajfel and Turner's social identity theory. The descriptive qualitative research method used in this research, and the data obtained from semi-structured in-depth interviews, observations, and documentation and/or literature studies. The results showed that Chinese Muslims tried to maintain and gain a positive social identity. It can be seen from individual and collective efforts to form different socio-cultural identities, some Muslim Chinese identify Chinese socio-cultural, some identify Javanese recent work on stereotyping has dealt with groups that are either artificially created or that do not have an extensive history of conflict. The authors attempted to overcome this limitation by examining issues of perceived variability and ethnocentrism among samples of White American and African American youth. The goals were both to examine theoretical issues in stereotyping and to describe the current state of ethnic interrelations among young people. Four studies are reported. Throughout, the samples of African Americans demonstrate interethnic judgments that are consistent with existing work on stereotyping and ethnocentrism. White American students, however, reported judgements that replicate neither the out-group homogeneity effect nor ethnocentrism. Alternative explanations for this difference are considered, and the discussion focuses on differing views concerning the role of ethnic identity and diversity in our society."Stereotypes and Social Cognition" . . . provides a coherent and much needed overview of the key arguments and empirical developments in research on stereotypes. The authors cover a wide range of diverse literatures and theoretical perspectives to present a comprehensive critique of the subject. The text spans a review of the classical work on psychodynamic and authoritarian theories through to contemporary sociocultural research. Moreover, the authors offer a close analysis of key theoretical approaches including social identity theory, social cognition and self-categorization theory. At the same time relevant cross-cultural issues are explored. This . . . book will be essential reading for students and academics in social psychology and for anyone with an interest in the phenomenon of social stereotyping. PsycINFO Database Record c 2012 APA, all rights reservedPendidikan Multikultural dan Konflik BangsaM Asya'arieAsya'arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas, 3 September A BaronD ByrneJ SulsBaron, Byrne, D. & Suls, Exploring Social Psychology. Boston Allyn and G MyersMyers, Social Psychology. 4 rd. ed. New York Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi SosialS W SarwonoSarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta Balai Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani diD P SusetyoS Dan HardiyarsoSusetyo, dan Hardiyarso, Stereotip Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Seri Kajian Ilmiah. Vol. 12 No. 3 Hal. Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 -1998S WarnaenWarnaen, S. 2001. Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta Penerbit Mata Bangsa Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 -1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. 22-25. Ilustrasi Masyarakat Perkotaan itu Permasalahan Sosial pada Masyarakat Perkotaan?Apa itu Masyarakat Perkotaan?Apa Saja Permasalahan Sosial Yang Muncul pada Masyarakat Perkotaan? Dan Bagaimana Penyelesainnya?Ilustrasi Permasalahan Sosial Modul 1 Mengenal Masalah Sosial Prof. Dr. Paulus Tangdilintin Bambang Prasetyo, PEN D A HU L UA N M asalah merupakan suatu kejadian atau gejala yang tidak akan pernah terpisahkan dari kehidupan manusia karena kehidupan manusia merupakan proses perjuangan mengatasi masalah. Pada dasarnya keberhasilan mencapai sukses dalam hidup adalah keberhasilan mengatasi masalah, dan sebaliknya kegagalan hidup adalah kegagalan mengendalikan masalah yang dihadapi. Untuk dapat menjalani hidup dengan berhasil maka manusia membutuhkan kemampuan mengendalikan masalah problem management. Kita lihat contoh sederhana berikut ini. Pada awalnya manusia menghitung segala sesuatu secara manual. Dua ditambah dua sama dengan empat. Mudah bagi kita untuk menghitungnya. Tapi coba Anda hitung tujuh puluh lima ditambah seperempat dari seratus tiga puluh lima, kemudian dikalikan dengan lima ratus empat puluh satu lalu dibagi sembilan puluh. Sulit bukan menghitungnya tanpa bantuan alat apa pun? Ini menjadi masalah bagi manusia. Masalah ini menjadi tantangan bagi manusia. Masalah ini pada akhirnya memberikan kesempatan kepada manusia untuk bisa berkembang. Terciptalah sebuah alat yang kita kenal dengan kalkulator. Ternyata kalkulator tidak begitu banyak membantu manusia sehingga manusia masih memiliki masalah. Sekali lagi masalah yang dihadapi manusia pada akhirnya membawa kemajuan bagi manusia dengan diciptakannya alat yang kita kenal dengan komputer. Dengan demikian, “masalah” bagi manusia tidak akan pernah berakhir, namun dengan adanya “masalah” tersebut maka manusia juga akan selalu berkembang. Bagi ahli sosial khususnya ahli sosiologi dan juga ahli kesejahteraan sosial, kemampuan seperti itu tidak hanya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bermanfaat untuk membantu orang lain memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi. Untuk itu, mahasiswa yang mendalami ilmu sosial perlu mengenal ciri-ciri dan elemen-elemen penting Masalah-masalah Sosial  masalah sosial, serta faktor-faktor penyebab maupun pendekatan pengkajiannya. Modul satu ini mengantarkan Anda untuk mengenal masalah sosial, yang secara skematis dapat digambarkan dalam pola berikut. Gambar Di dalam Modul 1 ini Anda akan mempelajari beberapa ciri khas masalah sosial yang membedakannya dengan masalah individu. Melalui materi di dalam modul ini Anda diharapkan dapat mengenal lebih dekat objek kajian mata kuliah Masalah-masalah Sosial pada umumnya. Secara umum, materi pada modul ini diharapkan memberi persepsi baru kepada mahasiswa tentang masalah sosial yang mungkin berbeda dengan persepsi sebelumnya. Materi dalam modul ini merupakan persiapan untuk memasuki analisis yang lebih bersifat ilmiah. Modul ini juga berguna bagi mereka yang menangani kesejahteraan sosial, serta mereka yang bekerja untuk menangani masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Secara khusus melalui pembelajaran modul ini Anda diharapkan mampu menjelaskan 1. sifat-sifat masalah sosial; 2. kesalahpahaman tentang masalah sosial.  SOSI4307/MODUL 1 Kegiatan Belajar 1 Masalah Sosial dan Sifat-sifatnya D alam pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan “masalah” adalah suatu hambatan yang dialami dan membutuhkan pemecahan dengan cara yang benar dan tepat. Beberapa pendapat juga mengatakan bahwa masalah merupakan kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dan kenyataan yang dihadapi. Lihatlah gambar berikut ini. Kenyataan yang dihadapi } Kesenjangan masalah Kondisi yang diharapkan Gambar Dari gambaran yang sederhana ini jelas bahwa semua orang, tanpa kecuali, selalu menghadapi masalah. Tetapi apakah suatu masalah yang dihadapi oleh seseorang itu merupakan masalah sosial? Tentu saja tidak. Untuk itu, uraian berikut akan memberikan gambaran kepada Anda mengenai perbedaan tersebut. A. MASALAH DAN KITA Masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia karena sepanjang hidupnya manusia akan terus-menerus dihadapkan pada hambatan hidup, yang harus terus-menerus membutuhkan pemecahan. Hal ini terjadi karena di satu pihak kebutuhan manusia cenderung tidak terbatas, dan pada pihak lain sumber daya untuk memenuhi kebutuhan itu sangat terbatas, serta tidak selalu tersedia dengan sendirinya pada saat dibutuhkan. Dari sinilah bersumber hambatan yang setiap saat dihadapi dan setiap saat pula harus dipecahkan, jika seseorang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Semakin bertambah dewasa seseorang maka akan semakin bertambah besar pula kebutuhannya, yang berarti semakin besar pula hambatan yang harus diatasi. Hal serupa terjadi karena masyarakat juga selalu mengalami Masalah-masalah Sosial  perkembangan. Semakin maju suatu masyarakat maka semakin tinggi tingkat kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, dan konsekuensinya semakin besar pula keperluan yang dibutuhkan untuk memenuhinya. Namun, inilah yang membuat manusia itu unik dan berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia, tidak seperti makhluk lain yang hanya dilengkapi dengan naluri atau instinct yaitu pola-pola naluriah yang dibawa sejak lahir untuk menanggapi dan menyelesaikan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bagi manusia justru sebaliknya pola-pola itu akan berkembang dari pengalamannya dalam menanggapi dan menyelesaikan hambatan yang dihadapi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk belajar. Manusia justru akan berkembang karena ada tantangan untuk menyelesaikan masalah. Seorang anak, misalnya tidak lahir dengan naluri untuk hidup bersih. Kebiasaan hidup bersih, seperti membuang sampah pada tempatnya, membuang air kecil dan air besar pada tempat dan waktu yang tepat atau kapan dia harus makan dan tidur, kesemuanya merupakan hasil belajar. Belajar dari reaksi ibu atas kegagalan dan keberhasilannya dalam mencoba menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Pola hidup seperti itu tercipta, tumbuh, dan berkembang dalam pergaulan dengan kedua orang tua, terutama dengan ibu. Demikian juga pola-pola belajar yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan prestasi di sekolah, hal itu akan tumbuh dan berkembang dari pengalaman mengikuti pendidikan di sekolah dan bimbingan yang diberikan oleh orang tuanya. Keberhasilan mengembangkan pola hidup untuk mengatasi hambatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari itu berarti merupakan kemajuan, dan sebaliknya kegagalan mengembangkan pola hidup seperti itu akan merupakan akar dari banyak permasalahan dalam kehidupan. Berkaitan dengan hal itu, dalam dunia modern, dikembangkan sistem persekolahan, di mana setiap orang sejak dini dapat dilatih untuk belajar memecahkan berbagai jenis permasalahan. Kemampuan dan kemahiran seseorang untuk memecahkan masalah terus dilatih melalui berbagai kegiatan di sekolah, misalnya pelajaran matematika atau latihan memecahkan soalsoal ujian. Latihan khusus seperti itu dibutuhkan karena pengalaman yang dapat diberikan oleh keluarga dan masyarakat melalui pergaulan hidup sehari-hari terasa sudah tidak lagi memadai dalam dunia modern sekarang ini. Apa yang perlu dipelajari untuk mampu memecahkan permasalahan hidup itu? Paling sedikit ada 2 hal yang pokok. Pertama, kemampuan  SOSI4307/MODUL 1 memenuhi kebutuhan pribadi, maksudnya mempunyai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan. Kedua, kemampuan menjalankan peran sosial dalam masyarakat, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat. Tanpa memiliki kedua hal itu, seseorang akan banyak mengalami masalah dalam kehidupannya sendiri dan juga akan banyak menimbulkan masalah bagi orang lain. Sumber Gambar Masalah Personal B. MASALAH PERSONAL Masalah yang diuraikan di atas bukanlah masalah sosial. Mills 1959 juga Sulivan dan Thompson 1988, menyebutnya sebagai masalah personal personal problems dan ini berbeda dengan masalah sosial social problems. Masalah personal personal problems adalah suatu kondisi yang menghambat seorang individu sehingga terganggu atau bahkan tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik. Misalnya, seorang anak yang kecanduan narkotik akan terganggu bahkan tidak akan dapat menjalankan peran utamanya, yaitu belajar mempersiapkan masa depannya. Hambatan Masalah-masalah Sosial  yang dialami anak itu dengan sendirinya akan mempengaruhi lingkungan terdekatnya, seperti keluarga. Jika seorang anak dalam satu keluarga menjadi kecanduan narkotik maka tidak hanya anak itu yang akan terganggu, tetapi seluruh keluarganya juga akan terganggu sehingga keluarga itu tidak akan dapat menjalankan roda kehidupannya sesuai dengan norma-norma yang mereka anut. Keadaan seperti itu akan memaksa mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan dari norma yang mereka anut dan junjung tinggi dalam mencapai tujuan hidupnya. Mungkin mereka dalam keadaankeadaan tertentu terpaksa berbohong atau menipu, untuk memenuhi kebutuhan anak yang kecanduan itu, suatu tindakan yang dalam keadaan biasa tidak akan mereka lakukan. Ini merupakan ciri yang menonjol dari masalah, yaitu selalu membawa pada keadaan yang memaksakan penyimpangan dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh orang yang mengalaminya. Kita coba ambil contoh lain. Seseorang yang sejak kecil tinggal di sebuah pemukiman kumuh, tidak pernah memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah. Orang tersebut setelah menginjak masa remaja dan dewasa tentu saja akan sulit untuk mencari pekerjaan. Kesulitan mencari pekerjaan ini pada akhirnya membuat ia sulit untuk memiliki penghidupan yang layak karena orang tersebut tidak memiliki uang. Orang tersebut tidak bisa makan 3 kali sehari, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, dan tidak memiliki pakaian yang bersih. Pada intinya orang tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketidakmampuan orang tersebut untuk memiliki kehidupan yang layak ini merupakan masalah personal. Jika Anda perhatikan secara saksama, terlihat bahwa masalah yang satu akan berakibat pada munculnya masalah yang lain. Ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi satu masalah yang dihadapi pada akhirnya memang akan menciptakan masalah lainnya. Satu hal yang harus Anda ingat bahwa masalah yang kita bahas saat ini masih merupakan masalah personal, dan bukan masalah social atau setidaknya belum menjadi masalah sosial.  SOSI4307/MODUL 1 C. KERESAHAN UMUM PUBLIC ISSUES Jika suatu masalah tidak hanya mengancam atau meresahkan individu dan keluarganya, melainkan lebih luas lagi, yaitu yang menyangkut jumlah keluarga-keluarga atau kelompok-kelompok yang lebih banyak, C. Wright Mills menyebutnya sebagai Public Issues Keresahan Umum. Menurut Mills 1959, suatu masalah dapat digolongkan sebagai keresahan umum jika masalah itu telah berpengaruh secara luas, dan menjadi bahan perdebatan umum. Keresahan umum merupakan suatu tahap yang dengan jelas memperlihatkan dimensi sosial dari suatu masalah. Itu sebabnya penjelasan mengenai pembedaan kedua gejala itu menjadi sangat penting untuk memahami ciri khas masalah sosial, untuk membedakannya dengan masalah yang lain. Pembedaan itu bukan saja dengan masalah personal, tetapi juga dengan masalah-masalah ekonomi, politik, dan psikologis. Kita coba gunakan kembali contoh kasus yang kita miliki. Masalah personal yang dihadapi oleh keluarga yang salah satu anggotanya mengalami kecanduan narkotika. Tahap selanjutnya bisa menjadi keresahan umum. Tetangga yang tinggal berdekatan dengan keluarga tersebut menjadi khawatir jika salah satu anggota keluarga mereka akan terpengaruh dan ikut-ikutan menjadi pecandu narkotika. Belum lagi kelakuan pecandu tersebut, yang pada saat ia sedang kecanduan sering melakukan berbagai tindakan yang meresahkan orang lain, seperti meminta secara paksa uang yang dimiliki anak-anak yang kebetulan lewat di depan rumahnya atau juga ulah nakalnya yang sering melecehkan remaja-remaja putri yang lewat di depan rumahnya, bahkan mencuri barang-barang teman untuk dijual agar dapat membeli narkotik. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang kecanduan tersebut, akhirnya menimbulkan keresahan umum. Kini kita ambil contoh kasus lain tentang ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan pokoknya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok, yang pada dasarnya merupakan masalah personal yang kita hadapi, kini bergeser menjadi keresahan umum. Hal ini terjadi karena orang yang bersangkutan mulai merasa putus asa dengan masalah personal yang dihadapinya. Dalam keputusan orang tersebut maka ia mulai melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan keresahan umum. Kini, mulai terjadi aksi pencurian. Ia mencuri apa saja, sampai-sampai mencuri pada pakaian yang dijemur. Hal ini dilakukannya karena ia sangat membutuhkan uang dan uang hasil penjualan Masalah-masalah Sosial  dari pakaian yang dicuri itu ternyata tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja, tetapi juga digunakan untuk mabuk-mabukan dan judi. Kegiatan mabuk-mabukan dan judi ini tentu saja pada akhirnya menimbulkan keresahan umum. Dari kedua kasus tersebut kita dapat melihat bahwa pada tahap selanjutnya sebuah masalah personal bisa berkembang dan menjelma menjadi sebuah keresahan umum. Akibat yang terjadi dari tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang bukan lagi hanya dirasakan oleh orang tersebut, tetapi juga memberikan dampak bagi orang-orang di sekitarnya. D. MASALAH SOSIAL Pembedaan antara masalah personal dengan keresahan umum, menurut Mills 1959, memperlihatkan dimensi yang menjadi ciri khas masalah sosial, dan yang membedakannya dengan masalah personal. Paling tidak ada 3 dimensi yang dapat dilihat dari penjelasan itu, yang memberi ciri sosial kepada suatu masalah sehingga memenuhi kriteria untuk disebut sebagai masalah sosial. Tanpa 3 dimensi itu suatu masalah tidak dapat memenuhi kriteria sosial. Pertama, keresahan itu mencerminkan bahwa masalah itu terkait dengan kesadaran moral anggota-anggota masyarakat. Kedua, keresahan umum juga berarti bahwa dalam masyarakat itu telah mulai terbentuk persamaan persepsi terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh adanya masalah. Ancaman terhadap kestabilan dan keadaan normal, serta terhadap nilai-nilai moral masyarakat. Masalah sosial selalu terkait dengan kestabilan dan keadaan normal masyarakat itu. Masalah sosial juga selalu terkait dengan nilai-nilai dan harapan-harapan luhur bersama dari masyarakat. Dan ketiga adalah mulai berkembangnya kesadaran bahwa masalah ini tidak dapat diatasi sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan dengan  SOSI4307/MODUL 1 menggalang kerja sama di antara anggota-anggota masyarakat yang mengalaminya. Ketiga dimensi itu terlihat dari definisi masalah sosial yang dirumuskan oleh oleh Rubington dan Weinberg 1989, yang menyatakan sebagai berikut. Masalah sosial adalah suatu kondisi yang dinyatakan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian warga, yang sepakat bahwa suatu kegiatan bersama diperlukan untuk mengubah kondisi itu. Definisi di atas memperlihatkan beberapa elemen menarik yang menunjukkan sifat dari masalah sosial. Dengan memahami secara mendalam sifat-sifat itu akan terlihat secara jelas ciri khas masalah sosial yang membedakannya dengan masalah-masalah lainnya, seperti masalah psikologis, masalah politik, dan masalah ekonomi. Dalam bukunya, Abdul Syani mengatakan bahwa masalah sosial memiliki dua penyebab, yaitu 1. terjadinya disorganisasi di dalam masyarakat, seperti terjadi keresahan, dan pertentangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; 2. adanya ketidakmampuan dalam berhadapan dengan inovasi, seperti ketidakmampuan dalam menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa masalah sosial merupakan masalah yang saling terkait antara satu gejala dengan gejala yang lain. Dari titik inilah kehadiran sosiologi adalah mencari keterkaitan antar gejala yang ada, dan terutama mencari sebab-sebab timbulnya masalah dan bukannya menekankan pada pemecahan masalah yang ada, yang merupakan bagian dari pekerja sosial. Masalah sosial dapat dibedakan dengan masalah kesejahteraan sosial. Masalah kesejahteraan sosial merupakan bagian dari masalah sosial. Sebagai ilustrasi, kemiskinan merupakan masalah utama yang terbentang dalam domain masalah sosial dan masalah kesejahteraan sosial. Namun, secara khusus masalah kemiskinan, kemudian menyentuh dimensi kesejahteraan sosial, seperti fakir miskin, orang dengan kecacatan ODK, anak dan lansia telantar, dan rumah tidak layak huni. Populasi yang mengalami problema ini dikenal dengan istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial PPKS Gambar Masalah-masalah Sosial  Sejalan dengan ide tersebut maka respons terhadap masalah tersebut juga dapat dibedakan meskipun sangat bersinggungan. Penanganan masalah sosial dilakukan melalui strategi pembangunan sosial. Sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya lebih difokuskan pada penanganan masalah kesejahteraan sosial. Peran yang dimainkan berbagai profesi juga tentunya akan berlainan. Gambar memperlihatkan bahwa peran pekerja sosial lebih dominan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sedangkan profesi lainnya, peranan dominannya adalah dalam domain khasnya masing-masing. Misalnya, guru dalam domain pendidikan dan dokter dalam bidang kesehatan. Sumber arto/ Edi Suharto, PhD Gambar Kembali pada contoh kasus yang kita miliki maka kecanduan narkotika yang pada awalnya merupakan masalah personal, kemudian menjadi keresahan umum, kini menjadi masalah sosial. Kecanduan narkotika yang diikuti dengan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar norma yang berlaku di masyarakat, pada akhirnya menimbulkan kesamaan persepsi di antara anggota masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa kejadian itu merupakan suatu ancaman bagi kestabilan keadaan normal yang selama ini berlaku, dan di antara anggota masyarakat itu sudah tercipta satu kesadaran bahwa mereka harus melakukan satu tindakan yang harus dilakukan secara bersama-sama dan mendapat dukungan dari semua anggota masyarakat. Demikian pula dalam kasus yang berawal dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya yang pada akhirnya menjadi suatu masalah sosial yang harus dipecahkan secara bersama-sama. Tindakan yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi masalah sosial itu, antara lain  SOSI4307/MODUL 1 melaporkannya ke polisi, melakukan sosialisasi tentang berbahayanya narkotika, serta melakukan kegiatan ronda secara swadaya. Gambar GAKY adalah Sekumpulan Gejala yang Timbul karena Tubuh Seseorang Kekurangan Unsur Yodium secara Terus-menerus dalam Jangka Waktu yang Cukup Lama Dari definisi di atas, sesungguhnya masalah-masalah sosial itu memiliki beberapa butir penting di dalamnya, antara lain berikut ini. 1. Suatu Kondisi yang Dinyatakan Ini maksudnya kondisi itu dinyatakan ada eksistensinya, mungkin oleh karena itu menjadi pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan media massa, seperti televisi, radio dan surat kabar. Pernyataan seperti itu tidak selalu perlu didukung oleh bukti. Misalnya, saja isu tentang adanya penyebar Masalah-masalah Sosial  racun orang yang berjilbab beberapa tahun yang lalu atau isu tentang pencemaran makanan dengan lemak babi ataupun isu mengenai adanya organisasi tanpa bentuk OTB yang meresahkan itu. Semua isu itu telah menimbulkan keresahan yang luas dalam masyarakat, dan membawa berbagai konflik yang tidak diinginkan. Setelah isu itu diteliti ternyata kejadian tersebut sebenarnya tidak ada. Namun, sekalipun tanpa adanya bukti, masyarakat sudah menganggap hal tersebut sebagai suatu masalah sosial, hanya karena banyak yang membicarakannya. 2. Tidak Sesuai dengan Nilai-nilai Ini artinya bahwa suatu situasi didefinisikan sebagai masalah sosial oleh suatu kelompok masyarakat berdasar standar nilai yang dipegang oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan. Nilai kelompok ini pada dasarnya merupakan gagasan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang salah dan mana yang benar. Polusi, misalnya akan dinilai secara berbeda oleh pecinta lingkungan dan oleh para pengusaha. Polusi akan dipermasalahkan oleh mereka yang gigih memperjuangkan lingkungan sehat dan bersih, namun para pengusaha yang lebih berorientasi pada keuntungan akan memberi penilaian berbeda. Demikian juga minuman keras akan dipermasalahkan oleh para tokoh agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, namun sebaliknya para pengusaha yang akan mendapat keuntungan dari perdagangan minuman keras akan bersikap lain, demikian juga pemerintah yang mungkin berkepentingan dengan penarikan pajak. Setiap kelompok dalam masyarakat dapat saling bertentangan karena pertentangan nilai yang dianutnya, bahkan mungkin saja konflik itu terjadi dalam diri satu orang karena pertentangan nilai yang dianutnya. Mungkin seorang penganut agama yang taat dan sekaligus adalah petugas pajak, akan mengalami konflik saat harus mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan minuman keras yang sedang hangat dipersoalkan. Oleh karena di satu pihak, sebagai seorang penganut agama yang taat, ia harus mengharamkan minuman keras karena memang agama mengharamkannya. Tetapi sebagai petugas pajak, ia harus „menghalalkan‟ minuman keras demi pajak atau cukai minuman keras yang harus ditarik sebagai sumber pendapatan yang digunakan untuk pembangunan. Sungguh suatu konflik atau dilema etik yang sulit untuk diambil jalan tengah. Demikian juga dengan kasus atau dilema yang dihadapi oleh seorang polisi dan sekaligus seorang bapak yang baik. Ia mungkin akan menghadapi konflik atau dilema etik  SOSI4307/MODUL 1 dalam menjatuhkan hukuman terhadap anaknya yang melakukan pelanggaran berat. Di sini, sang bapak, yang juga petugas polisi itu, menghadapi dua tuntutan nilai yang berbeda. Di satu pihak, sebagai seorang bapak, ada tuntutan untuk melindungi anaknya, tetapi di pihak lain, sebagai seorang hamba hukum, ia dituntut untuk menerapkan dan menjalankan aturan hukum tanpa pandang bulu. Semua ini memperlihatkan bahwa masalah sosial merupakan persoalan yang kompleks dan sama kompleksnya dengan keragaman nilai yang dianut dalam suatu masyarakat. 3. Sebagian Berarti Warga Bahwa suatu kondisi akan disebut sebagai masalah sosial jika sebagian berarti significant warga menilainya demikian. Namun, pertanyaannya adalah berapa jumlah warga yang dapat disebut memenuhi kriteria „berarti‟ itu. Tidak ada jawaban, angka atau jumlah yang pasti. Terminologi „berarti‟ pernah menjadi perdebatan di antara sekelompok sosiolog, yang berakhir dengan tidak adanya kesepakatan. Ada ahli yang berpendapat bahwa bukan jumlahnya yang menjadi persoalan penting, tetapi wibawa atau pengaruh dari kelompok yang memberi pernyataan. Meskipun jumlahnya banyak, tetapi jika tidak memiliki kewenangan, mungkin tidak akan memberi arti apa pun. Sebaliknya, biar jumlahnya sedikit, tetapi jika berasal dari kelompok berpengaruh akan memberi arti yang sangat besar. Oleh karena ada ahli yang menyatakan bahwa yang dapat menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial adalah pernyataan „kelompok berpengaruh‟ dan bukan besarnya jumlah warga yang memberi pernyataan. Kelompok berpengaruh itu dapat saja tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh politik atau tokoh-tokoh elit ekonomi atau intelektual. Definisi yang dibuat oleh Blumer 1971 dan Thompson 1988 memang mendukung pendapat di atas. Mereka menyatakan sebagai berikut. “Masalah sosial timbul apabila suatu kelompok yang berpengaruh merumuskan suatu kondisi sosial akan mengancam nilai-nilai mereka, berdampak pada sebagian besar warga, dan kondisi itu akan dapat diatasi melalui kegiatan bersama.” Satu hal yang pasti bahwa masalah sosial itu berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga kemasyarakatan. Dengan demikian suatu gejala, fenomena atau kejadian yang dianggap sebagai masalah sosial, tidak saja semata-mata merujuk pada tata kelakuan atau tindakan yang Masalah-masalah Sosial  menyimpang, tetapi sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum tentang nilai moral. 4. Suatu Kegiatan Bersama Dibutuhkan untuk Mengubah Situasi Adanya kegiatan bersama yang memperlihatkan dua hal penting, yaitu a adanya kesadaran bersama akan ancaman yang dihadapi, serta b adanya kesadaran bahwa kondisi yang menghambat itu berada di dalam batas kemampuan untuk diatasi. Jika kesadaran akan kemampuan itu tidak ada maka hambatan yang dihadapi tidak akan dianggap masalah, tetapi akan dianggap sebagai nasib yang biasanya diterima dengan pasrah. Itulah yang dijumpai di kalangan masyarakat yang tinggal di daerah kumuh. Mereka melihat kondisinya sebagai sesuatu yang wajar, mereka pasrah karena memang hal itu berada di luar kemampuan mereka untuk memperbaikinya. Selagi mereka pasrah, kondisi yang dihadapi tetap merupakan kondisi yang tidak dipermasalahkan. Sikap pasrah itu disebut orang sebagai berkebudayaan kemiskinan. Oleh karena itu, adanya kesadaran bersama untuk melakukan kegiatan menuju perubahan, merupakan suatu indikator yang penting bahwa masyarakat di satu pihak telah menyadari masalahnya dan di lain pihak telah menyadari kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut. Sumber Gambar Kemiskinan adalah Masalah Sosial yang Tak Pernah Terselesaikan  SOSI4307/MODUL 1 Dipandang dari kacamata sosiologi maka masalah sosial memiliki beberapa kriteria atau ukuran, antara lain berikut ini. a. Kriteria utama Suatu gejala atau kejadian dianggap sebagai masalah sosial ketika terjadi kepincangan antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang sesungguhnya terjadi. b. Sumber-sumber sosial Banyak kalangan yang berpendapat bahwa sumber terjadinya masalah sosial adalah manusia, sedangkan sesuatu yang terjadi karena alam bukan merupakan masalah sosial. Pernyataan ini ditentang oleh sosiolog. Mereka beranggapan bahwa alam pun bisa menimbulkan masalah sosial. Bencana alam, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir bisa juga memiliki andil dalam menciptakan masalah sosial. c. Manifest social problem dan Latent social problem Manifest social problem adalah suatu kejadian yang dianggap salah oleh masyarakat. Kejadian ini dapat diperbaiki atau dapat dihilangkan. Seseorang yang ketahuan mencuri, dia akan ditangkap, kemudian akan dipenjara. Penjara diharapkan akan membuat orang tersebut mengubah kebiasaannya untuk mencuri. Latent social problem adalah suatu kejadian yang dinilai berlawanan dengan aturan dan norma yang ada, namun tetap diterima dan dianggap bukan suatu masalah sosial. Pengendara sepeda motor yang selalu berhenti melewati garis pada saat lampu merah menyala dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan norma, namun hal tersebut dibiarkan saja, bahkan ketika ada pengendara yang berhenti di belakang garis justru mendapat umpatan. Demikian pula kendaraan sepeda motor yang mengambil jalur yang berlawanan dianggap sebagai hal yang sebaiknya dibiarkan saja. Masalah-masalah Sosial  LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1 Amati isu yang sedang berkembang dalam masyarakat dan catat isu yang menurut Anda penting. Kemudian, kelompokkan isu-isu itu ke dalam 3 kategori, yaitu masalah personal, keresahan umum, dan masalah sosial. Beri alasan mengapa masing-masing isu Anda kelompokkan ke dalam kategori tertentu! 2 Coba hubungi instansi pemerintah/yayasan swasta yang berurusan dengan penanganan masalah sosial dalam masyarakat masalah keluarga, kemiskinan, pengangguran, kenakalan. Pelajari program-program mereka. Coba identifikasi apakah persepsi lembaga itu tentang masalah sosial cukup ditunjang oleh pemahaman yang tepat tentang ciri-ciri masalah sosial atau masih ada yang didasarkan atas kesalahpahaman. Pisahkan mana yang sudah didasarkan atas pemahaman yang tepat dan mana yang tidak. Jelaskan alasan Anda! Petunjuk Jawaban Latihan 1 Ada perbedaan mendasar antara masalah personal, keresahan umum, serta masalah sosial. Anda bisa pelajari kembali mengenai hal tersebut dalam Kegiatan Belajar 1. 2 Diskusikan dengan rekan mahasiswa lainnya. R A NG KU M AN Masalah merupakan bagian dari dinamika kehidupan manusia. Masalah dapat dibedakan atas masalah personal, keresahan umum dan masalah sosial. Suatu masalah disebut masalah sosial jika memenuhi 3 kriteria, yaitu terkait dengan kesadaran moral, menjadi keresahan umum dan ada kesadaran bersama untuk menanggulanginya. Masalah sosial mempunyai butir-butir penting yang membedakan dengan masalah ekonomi, politik, dan psikologi. Hanya dengan memahami butir-butir penting itu maka suatu upaya penanggulangan dapat dilakukan. Butirbutir penting itu meliputi suatu kondisi yang dinyatakan, tidak sesuai  SOSI4307/MODUL 1 dengan nilai-nilai, sebagian berarti warga, serta adanya suatu kegiatan bersama. Secara sosiologis masalah sosial juga memiliki ukuran-ukuran yaitu kriteria utama, sumber-sumber sosial, serta manifest social problem dan latent social problem. TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1 Suatu kejadian dianggap sebagai keresahan umum jika .... A. seseorang merupakan bagian dari kelompok masyarakat B. kejadian itu sudah menjadi keresahan umum C. dapat dilihat dari tataran horizontal dan vertikal D. terjadi perbedaan kesadaran 2 Pandangan Sosiologi dalam mengkaji masalah sosial lebih menekankan pada .... A. sebab-sebab munculnya masalah sosial B. pemecahan masalah sosial C. akibat yang akan ditimbulkan D. pelaku aktor utamanya 3 Suatu isu dapat berubah menjadi masalah sosial, hal ini merupakan penjelasan tentang butir-butir penting dalam masalah sosial, yang menggambarkan .... A. sebagian berarti warga B. tidak sesuai dengan nilai C. adanya suatu kegiatan bersama D. suatu kondisi yang dinyatakan 4 Sikap pasrah yang sering disebut sebagai berkebudayaan kemiskinan, merupakan penjelasan tentang butir-butir penting dalam masalah sosial, yang menggambarkan .... A. sebagian berarti warga B. tidak sesuai dengan nilai C. adanya suatu kegiatan bersama D. suatu kondisi yang dinyatakan Masalah-masalah Sosial  5 Masalah sosial berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga sosial. Ini dapat diartikan bahwa masalah sosial itu .... A. hanya menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang B. bisa mencerminkan ukuran-ukuran umum tentang moral C. akan selesai dengan sendirinya D. merupakan suatu kondisi yang dinyatakan 6 Menurut Mills, dimensi masalah sosial, kecuali .... A. adanya kesadaran anggota B. munculnya persepsi yang sama C. adanya kesepakatan untuk tindakan bersama D. munculnya pelaku aktor utama 7 Ukuran-ukuran yang digunakan sosiologi dalam melihat masalah sosial, kecuali .... A. sumber-sumber sosial B. manifest social problem C. kriteria utama D. pelaku utamanya 8 Latent social problem bisa diartikan sebagai suatu kejadian yang .... A. berlawanan dengan norma, namun tetap diterima apa adanya B. sesuai dengan norma sehingga diterima apa adanya C. berlawanan dengan norma sehingga harus dihilangkan D. sesuai dengan norma, namun harus dihilangkan 9 Manifest social problem bisa diartikan sebagai suatu kejadian yang .... A. berlawanan dengan norma, namun tetap diterima apa adanya B. sesuai dengan norma sehingga diterima apa adanya C. berlawanan dengan norma sehingga harus dihilangkan D. sesuai dengan norma, namun harus dihilangkan 10 Ukuran yang digunakan dalam sosiologi menegaskan bahwa sumber masalah sosial .... A. hanya berasal dari alam saja B. bisa berasal dari alam C. harus berasal dari alam D. tidak bisa berasal dari alam  SOSI4307/MODUL 1 Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai. Masalah-masalah Sosial  Kegiatan Belajar 2 Sifat dan Kesalahpahaman Masalah Sosial S elain memahami masalah sosial melalui definisi yang ada, cara lain untuk memahaminya ialah dengan mencoba mempelajari ciri-ciri masalah sosial. Dari pengenalan akan ciri-ciri itu pemahaman kita mengenai gejala ini akan lebih mendalam. A. SIFAT MASALAH SOSIAL Dari beberapa ciri masalah sosial, paling tidak terdapat 6 ciri masalah sosial yang dapat membantu kita untuk mendalami fenomena ini. Keenam ciri itu menunjukkan bahwa 1 masalah sosial itu bersifat relatif; 2 masalah sosial saling berhubungan satu dengan yang lain; 3 masalah sosial selalu kompleks sifatnya; 4 masalah sosial selalu berbeda sepanjang rentang kehidupan; 5 masalah sosial dapat dikelompokkan; dan 6 masalah sosial dapat berdampak normal dalam pelaksanaan nilai-nilai sosial. Mari kita bahas satu per satu ciri-ciri tersebut secara singkat. 1. Masalah Sosial Itu Bersifat Relatif Sifat ini sudah dijelaskan dalam kegiatan belajar satu, sebagai salah satu elemen yang muncul dalam definisi masalah sosial. Sifat relatif itu karena masalah sosial itu terkait sangat erat dengan nilai-nilai moral yang dijadikan pedoman bagi suatu masyarakat untuk menentukan baik dan buruk, serta benar dan salah. Juga terkait erat dengan struktur masyarakat yang biasanya dijadikan tolok ukur bagi kondisi yang normal dan abnormal, yang pantas dan tidak pantas. Suatu kondisi yang merusak tidak selalu akan mendapat penilaian yang sama dari dua kelompok masyarakat yang berbeda tolok ukurnya. Dari contoh tentang polusi tadi kita sudah melihat hal itu. Di korankoran sering muncul perdebatan mengenai masalah ini antara para pengusaha dengan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang bertindak membela kelestarian lingkungan. Kedua belah pihak memberi argumen yang kuat untuk membela pendapatnya. Dari polemik itu kita melihat sifat relatif dari suatu masalah. Maksudnya suatu kondisi tertentu bagi suatu kelompok kemungkinan merupakan suatu masalah, tetapi bagi kelompok yang lain hal itu bukan merupakan suatu masalah.  SOSI4307/MODUL 1 Sifat relatif suatu masalah sosial tidak hanya terlihat dari tataran horizontal di antara kelompok-kelompok yang berbeda tetapi juga dari tataran vertikal di antara kurun waktu yang berbeda. Kondisi yang pada kurun waktu tertentu masih dipandang sebagai sesuatu yang wajar, pada kurun waktu yang lain mungkin sudah dinilai sebagai tidak wajar, dan ini sesuai dengan perkembangan kesadaran moral yang berkembang dalam masyarakat itu. Sebagai ilustrasi, beberapa saat yang lampau kita belum terlalu resah dengan “lingkungan kumuh”, tetapi sekarang ini kita merasa sangat terusik oleh kondisi seperti itu. Hal ini disebabkan oleh perubahan tingkat kesadaran dan kepekaan kita karena adanya pendidikan khususnya pendidikan kesehatan dan makin membaiknya kualitas kehidupan masyarakat sehingga kita dapat membandingkan antara keadaan sehat dan tidak sehat. Kondisi inilah yang kadang-kadang tidak disadari oleh pemerintah. Ketika satu dua orang pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di trotoar, hal ini dianggap bukan masalah. Namun, ketika jumlah pedagang kaki lima menjadi semakin banyak maka hal ini akan menjadi masalah sosial. Ketika terjadi upaya penggusuran terhadap pedagang kaki lima maka pemerintahlah yang dipersalahkan karena membiarkan pedagang kaki lima menjadi banyak yang berjualan. Oleh karena itu, Merton dan Nisbet 1988 berpendapat jika kita membandingkan masalah sosial di antara 2 kelompok yang berbeda atau di antara dua kurun waktu yang berbeda sebenarnya kita membandingkan dua kesadaran moral yang berbeda atau membandingkan dua standar nilai kehidupan yang berlainan. Menurut kedua tokoh ini, perbedaan antara masalah sosial dengan masalah-masalah lainnya terutama terletak pada konsep bahwa masalah sosial itu terkait sangat erat dengan nilai-nilai moral serta struktur sosial suatu masyarakat. 2. Masalah Sosial Saling Terkait Satu dengan Yang Lain Masalah sosial senantiasa merupakan jaringan gejala yang terkait satu dengan yang lain, artinya ia bersifat implikatif dan tidak berdiri sendirisendiri. Kemiskinan, senantiasa disertai dengan kebodohan, gangguan penyakit, kejahatan, tempat kumuh, dan banyak lagi. Keterkaitan di antara berbagai masalah itu dapat dilihat dari paradigma Manis Manis, 1977; lihat Garcia dan Militante, 1986, yang membuat suatu diagram yang tidak hanya memperlihatkan keterkaitan di antara masalah, tetapi juga urutan menurut tingkatan ancaman yang dapat ditimbulkan masalah itu. Menurut Manis 1977, ada masalah yang mempunyai ancaman lebih serius Masalah-masalah Sosial  dibandingkan dengan masalah yang lain. Manis mengurutkan masalah itu dari yang ancamannya paling serius ke yang kurang serius, dalam urutan masalah primer, sekunder, dan tersier. Masalah primer mempunyai ancaman yang paling serius dan kurang serius pada masalah tersier. Ia menyebut beberapa masalah primer, yaitu kemiskinan, rasisme, dan perang. Sumber Gambar Perang, Salah Satu Pemicu Timbulnya Masalah Sosial Urutan yang dibuatnya diperlihatkan, seperti dalam Gambar Tiga terminologi yang dikemukakan oleh Manis, masalah sosial primer, sekunder, dan tersier, dapat dijelaskan bahwa masalah sosial primer adalah kondisi sosial yang sangat berpengaruh yang dapat membawa akibat kerusakan ganda terhadap masyarakat. Masalah sosial sekunder adalah kondisi yang berbahaya yang terutama disebabkan oleh masalah sosial yang sangat berpengaruh, selanjutnya dapat menyebabkan timbulnya masalahmasalah lain, sedangkan masalah sosial tersier adalah kondisi yang berbahaya yang secara langsung atau tidak langsung merupakan akibat dari masalah yang lebih dominan Garcia dan Militante, 1986.  SOSI4307/MODUL 1 Sumber Garcia dan Militante 1986. Gambar Paradigma Manis Memperlihatkan Antarhubungan Masalah Sosial 3. Masalah Sosial Bersifat Kompleks Salah satu ciri masalah sosial adalah sifatnya yang kompleks, tidak sesederhana yang dipikirkan orang. Masalah sosial tidak pernah muncul mendadak melainkan dilatarbelakangi oleh penyebab yang kompleks dan rumit. Penyebabnya dapat ditelusuri melalui berbagai proses, baik proses ekonomi, sosial, politik maupun kepribadian. Masalah itu dapat merupakan hasil interaksi faktor-faktor intern dan ekstern. Akibat yang ditimbulkan juga dapat beraneka ragam, menakjubkan dan sering di luar dugaan. Misalnya, kemiskinan tidak hanya akan menyebabkan kemiskinan melainkan beraneka ragam masalah lain, seperti kejahatan, kecanduan obat bius, dan minuman Masalah-masalah Sosial  keras, bahkan mungkin sifat agresif atau acuh tak acuh yang dapat memberi kesan angkuh. Masalah sosial tidak selalu mudah dapat ditangani secara efektif, selain karena penyebabnya yang rumit, akibatnya sulit diramalkan, juga karena masalah sosial sering dilestarikan dalam kehidupan budaya. Pantangan makan ikan bagi anak kecil karena dianggap menyebabkan cacingan, merupakan contoh bagaimana suatu masalah dilestarikan dalam kebudayaan. Atau anak yang baru lahir tidak boleh diberi minum air susu ibu asi yang pertama colostrums dengan alasan asi pertama itu adalah susu basi, pada hal menurut kesehatan asi pertama itu justru akan memberi kekebalan tubuh yang tidak dapat digantikan dengan makanan pengganti apa pun. Kompleksitas masalah sosial tentunya berkaitan dengan ciri-ciri yang sudah kita bahas bersama bahwa masalah sosial selalu berkait dengan gejala sosial yang lain sehingga untuk mengatasi suatu masalah, kita juga perlu mempertimbangkan gejala lain yang berkaitan dengan masalah sosial tersebut. Sumber Gambar Protes terhadap Rasisme 4. Masalah Sosial Selalu Berubah dari Waktu ke Waktu Dari suatu penelitian Lauer 1976 teridentifikasi adanya paling tidak 3 jenis masalah dilihat dari perhatian yang diberikan masyarakat. Ada masalah yang terus-menerus dirasakan mengancam, ada masalah yang  SOSI4307/MODUL 1 muncul secara periodik, dan ada yang secara teratur muncul dan hilang. Berhubungan dengan hasil pengamatannya, ia melakukan Gallup Poll untuk mengetahui gambaran permasalahan yang dirasakan masyarakat Amerika antara tahun 1935-1975. Hasilnya memperlihatkan dengan jelas 3 jenis masalah itu. Terlihat masalah perang dan damai muncul secara terusmenerus, masalah ekonomi termasuk masalah pengangguran yang muncul secara teratur, serta merosotnya nilai agama dan moral muncul secara periodik. 5. Masalah Sosial dapat Dikelompokkan Di dalam literatur dijumpai banyak cara untuk melakukan klasifikasi masalah sosial. Garcia dan Militante menyebut beberapa cara pengelompokan. Pertama, yang dilakukan oleh Jensen 1947 berdasar atas penyebab timbulnya masalah, dan menghasilkan 4 kelompok masalah, yaitu a masalah sosial yang bersumber fisik penyakit fisik dan cacat, b masalah sosial bersumber mental gangguan jiwa dan keterbelakangan mental, c masalah sosial bersumber ekonomi kemiskinan, dan pengangguran, d masalah sosial bersumber budaya masalah kesejahteraan anak, gelandangan, jompo, kejahatan, dan kecanduan minuman keras. Pengetahuan mengenai penyebab ini dibutuhkan untuk dapat mengembangkan pengetahuan guna mengatasi masalah sosial tersebut. R. Stark 1975 membuat pengelompokan lain. Ia mendasarkan pengelompokannya atas sifat masalah sehingga ia menetapkan 3 kelompok besa, yaitu perilaku menyimpang, masalah konflik dan kesenjangan, serta masalah perkembangan manusia. Di dalam masing-masing kelompok besar itu terdapat sejumlah masalah sosial. Secara lengkap pengelompokan Stark itu digambarkan berikut ini. Tabel Pengelompokan Masalah Sosial menurut Stark Perilaku Menyimpang 1. kecanduan 2. gangguan mental 3. kejahatan, kenakalan 4. kekerasan pergaulan Konflik dan Kesenjangan 1. kemiskinan, kesenjangan 2. konflik antarkelompok 3. pelecehan seksual 4. lingkungan 1. 2. 3. 4. Perkembangan Manusia masalah keluarga jompo kependudukan masalah seksual Masalah-masalah Sosial  Sumber Gambar Korban Kelaparan/Malnutirisi karena Kondisi Miskin Pengelompokan lain dilakukan oleh J. Polen 1979 yang juga menghasilkan 3 tiga kelompok besar, yaitu a masalah kondisi sosial dan kebijakan sosial kerusakan lingkungan dan krisis energi, kependudukan dan pangan, kesenjangan, ras dan gender, serta urbanisasi; b lingkaran kehidupan perubahan dan masalah-masalahnya perubahan keluarga, pendidikan dan jompo; dan c pelanggaran atas norma-norma sosial kejahatan dan kenakalan, kecanduan alkohol dan obat, gangguan mental, serta penyimpangan seksual. Akhirnya, pengelompokan yang dilakukan oleh Manis 1984 menunjukkan bahwa ada 3 kelompok besar, yaitu a masalah dunia meliputi peperangan, kependudukan, lingkungan dan sumber daya; b masalah kemasyarakatan meliputi pemusatan kekuasaan, kemiskinan, rasial dan etnik, serta kejahatan; dan c masalah personal meliputi gangguan mental, kecanduan alkohol dan obat, dan proses menjadi tua. Tiga kelompok besar tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.  SOSI4307/MODUL 1 Gambar Klasifikasi Masalah Sosial menurut Manis 5. Masalah Sosial merupakan Akibat Normal dari Kegiatan-kegiatan Kemasyarakatan Tidak satu pun masyarakat yang bebas dari masalah, baik masyarakat maju maupun masyarakat berkembang. Masyarakat industri meskipun dapat mengatasi masalah lapangan kerja dan penyediaan barang kebutuhan, tetapi selalu dihadapkan pada masalah polusi. Sebaliknya, masyarakat pertanian sederhana mungkin tidak mengalami masalah hubungan-hubungan sosial, tetapi masalah kebutuhan fisik akan selalu dihadapi terutama pada musimmusim yang tidak menguntungkan. Pada era globalisasi saat ini transformasi ilmu pengetahuan semakin mudah, informasi semakin lancar, tetapi dampak sosialnya jauh lebih rumit dan tak terhindarkan. Dengan semakin mudahnya masyarakat mengakses internet, timbul masalah sosial baru, yaitu mudahnya anak-anak mengakses situs-situs porno, dan lebih parahnya kini berkembang apa yang disebut dengan Cyber crime. Teroris pun kini sudah mulai menggunakan kecanggihan alat komunikasi untuk melakukan aksinya. B. KESALAHPAHAMAN MENGENAI MASALAH SOSIAL Meskipun penjelasan mengenai sifat-sifat masalah sosial yang baru saja diuraikan dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahpahaman yang sering Masalah-masalah Sosial  terjadi, tetapi rasanya masih perlu penegasan khusus mengenai kesalahpahaman itu. Kesalahpahaman ini akan mempengaruhi relevansi kebijakan yang diambil penguasa untuk mengatasi masalah social dimaksud. Menurut Horton dan Leslie 1955, serta Garcia dan Militante 1986 ada paling tidak 8 pemikiran yang keliru fallacies berhubung dengan masalah sosial yang dapat menjadi dasar pertimbangan yang salah dalam penyusunan kebijaksanaan. 1. Anggapan bahwa masyarakat menyetujui masalah sebagaimana adanya. Anggapan ini berbeda dengan salah satu sifat masalah sosial yang diuraikan tadi bahwa masalah sosial itu relatif karena tolok ukur yang dipergunakan masing-masing orang berbeda. Ada kondisi yang bagi seseorang merupakan masalah, tetapi bagi orang lain tidak. Dengan demikian, kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa masalah yang terjadi ini tidak perlu ditanggulangi karena masyarakat sudah menerimanya sebagai bagian dari kehidupan mereka. Banyaknya aksiaksi demonstrasi yang menentang suatu kebijakan pemerintah berangkat dari kesalahpahaman ini atau kita juga bisa kembali menggunakan kasus tentang pelanggaran disiplin lalu lintas yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor. Kejadian ini bagi sebagian orang dianggap hal yang wajar saja. Namun, menjadi satu kesalahan jika kita lalu menganggap bahwa semua masyarakat membiarkan pelanggaran ini terjadi. Ada sebagian masyarakat yang tidak setuju jika masalah ini dibiarkan begitu saja, Hanya saja mereka tidak bisa atau belum mampu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dengan demikian, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor merupakan suatu hal yang sudah diterima oleh seluruh pengguna jalan yang ada, di sinilah letak kesalahpahaman itu. Jika hal ini diterima, tentunya pihak yang berwenang, seperti polisi lalu lintas tidak akan melakukan suatu tindakan untuk menertibkan pelanggaran yang ada. Celaka bukan? 2. Masalah sosial bersifat alamiah dan tak dapat dihindarkan Dari penjelasan mengenai sifat masalah dan penjelasan sebelumnya diketahui bahwa masalah sosial itu terkait erat dengan nilai-nilai moral dan struktur sosial. Dengan kata lain, masalah sosial merupakan suatu masalah yang timbul dari hubungan antarmanusia. Dengan demikian, masalah alamiah seperti gunung meletus, gempa bumi atau banjir tidak termasuk sebagai masalah sosial. Meskipun demikian masalah alamiah  SOSI4307/MODUL 1 ini senantiasa membawa dampak sosial seperti hilangnya tempat tinggal, hilangnya lapangan kerja, kematian anggota atau kepala keluarga dan sebagainya. Oleh karena itu, masalah alamiah juga sebaiknya ditangani sebagai masalah sosial. Apa implikasinya jika bencana alam tidak dianggap sebagai masalah sosial? Hal ini terjadi dalam kasus banjir lumpur di Porong, di mana kejadian itu tidak dianggap sebagai masalah sosial sehingga pemerintah beranggapan bahwa pemerintah tidak perlu ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan yang telah terjadi. Padahal, jika kita lihat dampak yang ditimbulkannya maka sebenarnya banjir lumpur ini merupakan suatu masalah sosial yang perlu penanganan atau tindakan bersama untuk mengatasinya. Korban Lumpur Lapindo Penanganan Masalah Sosial Masih Top-Down Penanganan masalah sosial dampak banjir lumpur Lapindo Brantas Inc LBI di Porong dinilai masih top-down dan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat korbannya. Penilaian ini disampaikan Dra. Agnes Tuti Rumiati, Ketua Tim ITS untuk penanganan lumpur Lapindo di bidang sosial. Agnes menilai, dalam kondisi sekarang ini, relokasi merupakan pilihan yang paling rasional sebagai solusi permasalahan, Pemkab Sidoarjo yang bertanggung jawab dalam aspek sosial penanggulangan dampak lumpur belum pernah melakukan dialog dengan warga. Solusi-solusi yang disosialisasikan ke warga korban, kata ahli statistik ITS ini masih bersifat jangka pendek dan tambal sulam. 28 Agustus 2006, 100104, Laporan Eddy Prasetyo 3. Masalah sosial itu abnormal. Ini maksudnya bahwa masalah sosial itu dipersepsikan sebagai akibat dari kondisi yang abnormal atau patologis. Dalam kenyataan sering dijumpai hal yang sebaliknya. Masalah sosial ternyata tidak selalu 4. 4. Masalah-masalah Sosial  disebabkan oleh keadaan patologis atau kegagalan saja tetapi tidak sedikit justru disebabkan oleh keberhasilan. Sebagai contoh ledakan penduduk usia lanjut pada tahun-tahun mendatang, antara lain disebabkan oleh keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan. Demikian juga meningkatnya jumlah anak usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan memperbaiki kondisi kesehatan anak dan keberhasilan program pendidikan. Ini semua memperlihatkan bahwa masalah itu tidak selalu muncul dari kegagalan tetapi juga dari suatu keberhasilan. Kondisi ini sering tidak dipublikasikan secara luas. Dengan kata lain, masalah yang ada tidak dianggap sebagai masalah sosial karena pemerintah takut dinyatakan gagal dalam program yang dijalankan yang menunjukkan keberhasilan dari sasaran yang sudah direncanakan. Kondisi yang sama juga terlihat dari indikator keberhasilan program pembangunan yang dilontarkan oleh pemerintahan orde baru. Terlihat bahwa banyak pembangunan secara fisik yang terlihat di Indonesia, namun sesungguhnya banyak masalah sosial yang ada dibalik semua itu, seperti hutang yang menumpuk, kesenjangan dalam kepemilikan modal yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja dan sebagainya. Masalah sosial disebabkan oleh orang jahat bad people. Jalan pemikiran ini tidak berbeda dengan butir ke-3 di atas, yaitu pandangan bahwa masalah itu diciptakan oleh orang yang pada dasarnya jahat. Seorang pencuri, misalnya sering kali disangka „dihasilkan‟ oleh orang tua yang juga pencuri, demikian pula bagi seorang pelacur, dan sebagainya. Anggapan atau stigma yang demikian itu tidak benar adanya. Tidak sedikit kita jumpai anak-anak nakal yang berasal dari keluarga baik-baik, sebaliknya tidak sedikit anak-anak dari keluarga yang berlatar belakang tidak baik, ternyata berhasil membentuk keluarga yang sejahtera bahagia. Sering kali juga suatu kejahatan terjadi karena memang pada saat itu ada kesempatan yang muncul. Seseorang yang tidak pernah mencuri seumur hidupnya, namun ketika dalam satu kesempatan ia melihat sebuah komputer notebook yang tertinggal di dalam sebuah ruangan, sementara di dalam ruangan itu hanya dirinya saja yang ada maka pada saat itu ia bisa berubah dari seorang yang baik menjadi seorang pencuri. Memang ironis, tetapi inilah kenyataannya. Masalah sosial berkembang sebagai akibat pemberitaan  SOSI4307/MODUL 1 Meskipun ada benarnya bahwa pemberitaan dapat menimbulkan kesadaran umum public awareness akan masalah sosial yang dialami oleh suatu masyarakat, sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa pemberitaan itu menjadi penyebab timbulnya masalah sosial. Para penganut pandangan konflik, misalnya yakin benar bahwa masalah sosial itu muncul melalui suatu proses panjang yang disebutnya sebagai „model perkembangan alamiah‟ natural history model atau „karier sosial‟ social career Carcia dan Militante, 1986. Proses itu mempunyai empat tahapan, yaitu agitasi, legitimasi dan kooptasi, birokratisasi dan reaksi, serta re-emergensi. Sumber Gambar Perjudian, Salah Satu Masalah Sosial yang Sulit Diatasi 5. Semua orang menghendaki masalah sosial ditanggulangi Sering ada anggapan bahwa semua orang menghendaki suatu masalah sosial ditanggulangi secara tuntas. Dalam kenyataan tidaklah demikian karena ada pihak tertentu yang merasa dirugikan jika masalah sosial tertentu ditanggulangi dengan tuntas. Hal ini merupakan hambatan yang sering dijumpai dalam upaya mengatasi masalah sosial. Untuk menanggulangi masalah narkotika, misalnya banyak pihak yang menghambat upaya itu karena merugikan dirinya, misalnya para pengedar dan produsen narkoba. Demikian juga pada masalah pelacuran. Banyak pihak yang menghambat upaya penanggulangan karena dapat mengurangi kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Yang lebih 6. Masalah-masalah Sosial  celaka lagi adalah pihak yang seharusnya berwenang untuk mengatasi masalah sosial yang ada, justru berusaha untuk menutup kesempatan untuk mengatasinya karena mereka juga mengalami kerugian. Kita ambil saja contoh mengenai perjudian. Kepolisian sebagai pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah perjudian, sering kali tidak melakukan tugasnya karena oknum petugas mendapatkan keuntungan dari perjudian, di mana mereka yang terlibat perjudian memberikan „upeti‟ kepada oknum tersebut dengan dalih uang jaminan keamanan. Masalah sosial akan berhenti dengan sendirinya Dalam kehidupan masyarakat sering ada kebiasaan mendiamkan suatu persoalan. Tidak sedikit masalah yang tidak diselesaikan dengan tuntas karena ada anggapan bahwa masalah itu akan selesai dengan sendirinya. Mungkin karena masalah itu terlalu rumit atau ada keengganan untuk membuka akar masalahnya, lalu dibiarkan dengan alasan nanti akan selesai dengan sendirinya. Tetapi dalam kenyataan malah hal ini sering kali menjadi memicu masalah yang lebih besar. Kerusuhan antaretnis yang terjadi di Kalimantan Barat Januari 1997, menurut beberapa pengamat, disebabkan oleh beberapa permasalahan konflik kecil yang pernah terjadi antara pendatang dan penduduk asli yang tidak terselesaikan dengan tuntas. Mereka menganggap masalah itu akan selesai dengan sendirinya. Ternyata masalah-masalah yang tidak selesai dengan tuntas itu bukannya selesai dengan sendirinya, tetapi menumpuk dan akhirnya meledak dalam bentuk kerusuhan yang mengerikan. Gambar Kerusuhan yang Memakan Korban Sumber  SOSI4307/MODUL 1 7. Masalah sosial dapat diselesaikan tanpa perubahan kelembagaan. Masalah kemiskinan tidak dapat diselesaikan hanya dengan memberi bantuan terhadap keluarga miskin atau memberi bea siswa pada anakanak mereka tanpa menyelesaikan inti permasalahannya. Masalah kemiskinan biasanya terkait dengan kebijakan dalam lembaga ekonomi yang berakibat timbulnya kesenjangan. Untuk mengatasi masalah kemiskinan secara mendasar hendaknya dikaitkan dengan perubahan lembaga ekonomi. Bantuan langsung tunai BLT yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan uang senilai untuk jangka 3 bulan bukanlah solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bahkan dengan adanya BLT itu warga masyarakat justru semakin banyak yang mengaku dirinya miskin. Cara ini bukannya menyelesaikan masalah, namun justru menimbulkan masalah baru. Jika suatu ketika nanti program pemberian BLT ini dihentikan maka akan muncul gejolak sosial baru, terutama ketika nantinya program bantuan ini dihentikan oleh pemerintah. Masalah sosial merupakan produk dari perubahan sosial. dan timbul manakala terjadi ketidaksesuaian antara unsur yang ada dalam masyarakat yang dapat mengganggu tertib sosial. Berbagai masalah sosial yang terjadi di Kota Tangerang tampak dari berbagai gejalagejala sebagai berikut. 1. Kependudukan dan urbanisasi. Laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang pada dekade terakhir 1990 s/d 2000 rata-rata bertambah 4,29% tiap tahun. Pertambahan penduduk ini terjadi karena urbanisasi dan menyebabkan ketimpangan jumlah penduduk dengan daya dukung perkotaan. Perkembangan angkatan kerja yang cukup tinggi ratarata 16,45% tiap tahun 1996-1999, telah meningkatkan pengangguran dan kemiskinan perkotaan, meluasnya pemukiman Masalah-masalah Sosial  2. 3. 4. 5. kumuh, sektor informal yang tidak terkendali, dan meningkatnya kejahatan atau kriminalitas. Kesenjangan sosial. Kesenjangan antargolongan penduduk adalah masalah kota yang juga menonjol, yang tampak dari distribusi pendapatan, dari kesenjangan antar sektor ekonomi, kesenjangan akses terhadap pasar, akses terhadap modal dan manajemen. Krisis ekonomi telah memperluas kesenjangan dan disharmony sosial yang dapat mengarah pada konflik antargolongan penduduk. Disorganisasi keluarga dan kealpaan kelembagaan masyarakat. Maraknya konflik antarwarga, tawuran pelajar, dan berbagai bentuk gangguan ketenteraman sosial disebabkan disorganisasi keluarga dan gagalnya lembaga-lembaga kemasyarakatan menjalankan perannya dalam memelihara keselarasan sosial, menjaga moralitas dan harmoni sosial. Disorganisasi keluarga, terutama yang timbul dari krisis keluarga dan terganggunya komunikasi antarlembaga empty shell family, telah menimbulkan berbagai masalah generasi muda perkotaan. Akumulasi masalahmasalah perkotaan, disorganisasi keluarga dan kealpaan lembagalembaga kemasyarakatan dalam menjalankan peranannya secara bertanggung jawab menyebabkan eskalasi gangguan terhadap ketenteraman dan ketertiban menjadi semakin meluas. Meningkatnya penyandang masalah sosial, dan patologi sosial. Meningkatnya penyandang masalah sosial di Kota Tangerang tampak dari jumlah pengemis, gelandangan, pengamen. Meningkatnya jumlah pekerja seks komersial liar juga memperburuk wajah kota serta gangguan keamanan dan ketertiban yang mengganggu rasa aman, serta menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran warga kota. Meluasnya penyalahgunaan narkoba baik kasus dan jenis penggunaannya telah merambah ke berbagai lapisan masyarakat. Ketimpangan pendidikan dan derajat kesehatan. Tingkat pendidikan yang rendah dan kesehatan yang buruk dari sebagian besar warga Kota Tangerang tercermin dari kualitas kehidupan masyarakat kota dan wajah fisik kota. Profil masyarakat Kota Tangerang berdasarkan pendidikan menunjukkan bahwa 21,07% penduduk tidak tamat pendidikan dasar SD, dan 48,18% penduduk hanya berpendidikan SD dan SLTP. Ketimpangan pendidikan dan derajat kesehatan itu juga berkorelasi secara positif dengan masalah-masalah sosial perkotaan. Selain Horton dan Leslie 1955, Jalaludin Rahmat juga menyoroti mengenai kesalahpahaman tentang pola pikir masyarakat, yang bisa juga dikaitkan dengan kesalahpahaman mengenai bagaimana kita memandang sebuah masalah sosial. Setidaknya ada 7 kesalahpahaman yang terjadi.  SOSI4307/MODUL 1 1. Over generalisasi. Sering kali kita memandang suatu permasalahan yang sebenarnya belum tentu terjadi, namun kita pernah mengalaminya dalam satu kasus tertentu, lalu kita menganggap sama pada kasus yang lain. Kita ambil saja contoh tentang pedagang kaki lima PKL. Kita pernah mengalami bahwa pedagang kaki lima yang ada di suatu tempat pada akhirnya menimbulkan masalah sosial, seperti kemacetan lalu lintas, sampah yang berserakan, serta tingkat kriminalitas yang tinggi. Dengan kasus yang pernah kita alami ini, kemudian kita mengambil kesimpulan bahwa setiap ada pedagang kaki lima yang berjualan maka kondisinya akan sama, yaitu akan terjadi kemacetan lalu lintas, sampah berserakan, serta tingginya tingkat kriminalitas. Akhirnya, kita akan selalu memandang negatif atas keberadaan PKL ini. Sumber cetak/2005/ 0405/05/ 03PKL% Gambar PKL yang Sering Kali Dianggap Menjadi Pemicu Kesemrawutan Lingkungan Kota 2. Selalu melihat ke belakang tanpa melihat ke depan. Pernyataan ini memang sedikit bersinggungan dengan kenyataan bahwa sosiolog selalu melihat kepada sebab-sebab terjadinya suatu masalah sosial, kemudian menyerahkannya kepada ahli kesejahteraan sosial untuk mencarikan solusi dalam mengatasi permasalahan yang ada. 3. 4. Masalah-masalah Sosial  Namun, dalam konteks „selalu melihat ke belakang tanpa melihat ke depan‟, sedikit berbeda di mana dalam di sini ada unsur menyalahkan kondisi yang sebelumnya terjadi tanpa ada upaya untuk mencarikan solusinya. Kita, seolah mencari pembenaran atau justifikasi tentang apa yang terjadi saat ini, dengan menyalahkan apa yang terjadi sebelumnya. Pernyataan yang sering dilontarkan oleh para penguasa bahwa kondisi yang terjadi saat ini krisis ekonomi, krisis sosial merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah atau penguasa sebelumnya. Dengan kata lain mereka hanya menyalahkan kejadian pada masa yang lalu, namun tidak mencari solusi untuk mengatasinya. Sosiologi melihat sebab-sebab yang ada mengenai terjadinya krisis ekonomi dan krisis sosial, dan setelah mereka menemukan penyebabnya mereka bisa memberikan rekomendasi terhadap apa yang akan atau harus dilakukan untuk mengatasi kondisi yang sudah terlanjur terjadi. Mengaitkan hubungan kausalitas yang semu Sering kali para pengambil kebijakan salah dalam melakukan antisipasi karena mereka melihat hubungan kausalitas yang semu. Hubungan kausalitas yang dilihat hanya yang ada di permukaan saja tanpa melihat lebih dalam lagi sehingga pada akhirnya solusi yang ditawarkan pun tidak mampu untuk mengatasi masalah sosial yang ada secara tuntas. Kita ambil contoh tentang pelanggaran lalu lintas. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa banyaknya pelanggaran yang terjadi di jalan raya karena ketidakdisiplinan masyarakat yang menggunakan jalan raya. Kondisi ini merupakan kondisi semu, sebab jika melihat lebih dalam lagi maka terjadinya ketidakdisiplinan pengguna jalan raya karena mereka sendiri tidak pernah mendapatkan sosialisasi dalam berperilaku disiplin. Mudahnya mereka mendapatkan surat izin mengemudi, padahal mereka tidak tahu arti rambu-rambu lalu lintas yang ada, dan tidak paham bagaimana cara mengemudi yang aman, menyebabkan tidak adanya disiplin dalam berlalu lintas. Tambahan lagi, penegakan disiplin yang seharusnya dilakukan pihak yang berwenang tidak dijalankan sebagaimana seharusnya. Jika penegakan disiplin dilakukan dengan benar, tentunya tidak akan pernah ada pelanggaran disiplin. Mencari penjelasan pada sesuatu yang abstrak Sering kali kita merasa bosan atau bahkan putus asa karena masalah yang kita hadapi tidak pernah kunjung selesai. Kita merasa tidak mampu lagi untuk mengatasi permasalahan yang ada, akhirnya kita menyerah  SOSI4307/MODUL 1 5. pada kenyataan yang ada. Untuk menutupi kelemahan kita dalam mengatasi masalah yang ada, akhirnya kita mengatakan bahwa apa yang terjadi memang merupakan takdir yang tidak bisa kita elakan. Bagi mereka yang percaya akan takdir maka kondisi ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diutak-atik lagi atau mereka tidak pernah memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang tanda-tanda atau gejala alam bahwa ada kemungkinan akan terjadi bencana, namun mereka lebih menyalahkan takdir. Pada akhirnya, mereka mulai memasang peralatan yang mampu mendeteksi kemungkinan terjadinya tsunami secara dini setelah tsunami itu sendiri terjadi. Mereka juga baru mensosialisasikan kepada masyarakat tentang bagaimana membaca tanda-tanda alam setelah terjadinya tsunami. Karena ikut-ikutan akhirnya terjadi hukum ekonomi Hukum ekonomi yang dikenal secara luas adalah tentang kepuasan, yang menyatakan bahwa pada suatu titik tertentu, segala sesuatu yang mengalami peningkatan akan mengalami titik jenuh sehingga pada saat itu akan terjadi penurunan yang signifikan. Lihat saja kebijakan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan dan pengangguran warganya dengan menggunakan kesalahpahaman ini. Pada saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak maka banyak warga masyarakat yang „mendadak miskin‟. Hal ini karena harga minyak tanah yang dinaikkan pemerintah dengan persentase yang tinggi membuat masyarakat menengah ke bawah yang selama ini mengonsumsi minyak tanah tadi menjadi tidak mampu lagi membeli minyak tanah. Untuk mengatasi hal ini maka dicobalah mencari alternatif lain dengan mencari bahan bakar alternatif. Ketika beberapa kalangan mengatakan bahwa briket batu bara bisa menggantikan minyak tanah maka di tengah ketidakberdayaan pemerintah, serta-merta pemerintah mencanangkan program bagi masyarakat untuk beralih ke penggunaan briket batu bara. Untuk mengantisipasi lonjakan permintaan akan kepemilikan kompor yang khusus menggunakan briket batu bara maka pemerintah meminta masyarakat untuk berlomba-lomba memproduksi kompor khusus tersebut. Akibatnya, banyak dari kalangan industri kecil yang berlombalomba untuk memproduksi kompor tersebut. Satu dua pengusaha tidak ada masalah, namun ketika jumlah produsen meningkat maka produksi menumpuk, dan akhirnya produsen banyak yang mengalami kerugian karena produknya tidak laku di pasaran. Kondisi ini diperparah lagi 6. Masalah-masalah Sosial  dengan berubahnya kebijakan pemerintah dalam upayanya untuk mengatasi masalah krisis bahan bakar, di mana pemerintah yang sebelumnya mendukung gerakan untuk penggunaan briket batu bara, kini beralih dengan penggunaan gas. Tentu saja banyak produsen yang telah memproduksi kompor khusus briket batu bara tadi menjadi rugi besar. Mengandalkan pada otoritas UU yang didasarkan pada penafsirannya sendiri Jika kita cermati berbagai perilaku penguasa dan elit pemerintahan, seperti menteri, DPR, lembaga legislatif, juga lembaga yudikatif mereka sering kali beradu argumen di antara mereka sendiri yang katanya dalam rangka mengatasi masalah sosial yang ada di masyarakat. Masalah yang ada tidak pernah teratasi, namun pertengkaran dan saling menyalahkan justru makin menjadi. Akibatnya, tentu saja hilangnya harapan masyarakat untuk teratasinya masalah yang mereka hadapi, dan justru malah mereka berusaha sendiri untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi pada diri mereka. Pertengkaran dan saling menyalahkan di antara elit politik terjadi karena adanya kesalahpahaman yaitu mengandalkan pada otoritas undang-undang yang didasarkan pada penafsirannya sendiri. Masing-masing merasa dirinya benar karena mereka menginterpretasikan menurut pandangan mereka sendiri. Akibatnya, kepentingan mereka sendirilah yang ditonjolkan dan menjadi prioritas, bukannya kepentingan masyarakat luas. Celakanya lagi, para elit politik itu menghabiskan dana masyarakat hanya untuk mencari titik temu atas penafsiran mereka yang berbeda-beda yang tidak pernah mencapai titik temu. Bukannya mereka saling bekerjasama untuk mengatasi masalah sosial yang melanda. Gambar Adu Jotos Anggota DPR yang Terhormat yang Katanya Demi Menegakkan Prinsip Sumber  SOSI4307/MODUL 1 7. Argumen yang hanya berputar-putar Sering kali dalam menghadapi adanya suatu masalah kita bukannya, berupaya untuk mengatasi masalah yang ada secara bersama-sama, namun justru saling menyalahkan dengan menggunakan argumenargumen yang pada akhirnya hanya berputar-putar dalam lingkaran yang sama. DPR menyalahkan pemerintah karena lambat dalam menangani berbagai masalah sosial yang terjadi. Pemerintah menyalahkan DPR karena dianggap memberikan pembatasan-pembatasan sehingga pemerintah tidak mampu untuk mengambil kebijakan secara tepat dan cepat. Kondisi ini terus terjadi tanpa adanya upaya dari kedua belah pihak untuk duduk berembug bersama demi memecahkan masalah yang ada. Dari berbagai kesalahpahaman yang ada baik yang dikemukakan oleh Horton dan Leslie 1955, maupun yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat, kita dapat mengambil intisarinya sebagai berikut. 1. Dalam upaya untuk mengatasi masalah sosial hendaknya tidak hanya dengan rekayasa pribadi tapi harus dengan rekayasa sosial collective action to solve social problem. Kenyataannya, yang terjadi sekarang ini bahwa suatu masalah sosial hanya dipandang sebagai masalah pribadi sehingga dalam penanganannya juga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dalam tingkatan individu atau pendekatan personal. Untuk mengatasi masalah kemiskinan, solusi yang ditawarkan hanya dengan memberikan bantuan langsung tunai BLT, yang pada akhirnya tidak pernah menyelesaikan masalah kemiskinan sebagai suatu masalah sosial dan hanya menyelesaikan masalah pribadi, yaitu asal dapat membeli/ memenuhi kebutuhan pangan untuk sementara. Ilustrasi yang bisa digunakan dalam hal ini jika suatu ketika kita akan menaiki sebuah kapal, dan ternyata setelah kita naik, kita tahu bahwa kapal yang sedang kita tumpangi mengalami beberapa kerusakan di beberapa tempat Masalah-masalah Sosial  bocor maka solusi yang dilakukan oleh pemilik kapal adalah membuang air yang masuk ke dalam kapal, tanpa melihat dan berupaya mengatasi kerusakan yang sebenarnya terjadi pada kapal yang menyebabkan air terus masuk ke dalam kapal. Dengan demikian, solusi yang dilakukan bukanlah suatu usaha untuk mengatasi masalah yang ada secara tuntas menambal kebocoran kapal, namun hanya untuk mengatasi masalah secara sesaat saja membuang air yang masuk tiada henti akibat kebocoran kapal dan itu dirasa sia-sia. 2. Jangan mengatasi masalah jangan dengan menciptakan masalah baru. Kasus yang terjadi pada melubernya lumpur panas di Sidoarjo misalnya serta solusi yang ditawarkan dengan cara membuang lumpur tersebut ke Laut melalui Sungai Porong merupakan suatu tindakan yang mengatasi masalah dengan menciptakan masalah masalah baru. Jadi, jangan sampai suatu masalah yang seharusnya diatasi, malah berimplikasi menimbulkan masalah baru lain yang membutuhkan penanganan dengan biaya sosial dan ekonomi tinggi. 3. Untuk mengatasi masalah sosial hendaknya kita mencari „kondisi perlu‟ jangan hanya „kondisi cukup‟. Kondisi perlu adalah suatu kondisi yang merupakan penyebab utama dari suatu kejadian, yang keberadaannya sangat berpengaruh pada kejadian lain. Jika kondisi perlu ini hilang maka kejadian lain juga akan hilang. Sedangkan kondisi cukup adalah suatu kondisi yang merupakan penyebab lain dari suatu kejadian, yang keberadaannya tidak mutlak berpengaruh pada kejadian lain. Dengan demikian, jika kondisi cukup ini kita hilangkan maka kejadian lain masih bisa terjadi. Kita coba ambil contoh sederhana. Apa „kondisi perlu‟ dan „kondisi cukup‟ yang Anda butuhkan untuk bisa lulus Mata Kuliah Masalah Sosial? „Kondisi perlunya adalah Anda harus melakukan registrasi mata kuliah ini, sedangkan kondisi cukupnya adalah Anda harus belajar, membaca modul, dan mengikuti tutorial. Jika Anda tidak pernah meregistrasi mata kuliah ini maka Anda tidak akan pernah lulus, sekalipun Anda belajar dengan keras, dan menguasai materi yang ada di dalam modul. Sebaliknya, Anda bisa saja lulus walaupun Anda tidak pernah belajar ini barangkali unsur keberuntungan dan Anda tidak pernah membaca modul. Kembali pada upaya untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi maka selama pemerintah hanya berupaya mengatasi kondisi cukupnya, dan bukan mengatasi kondisi perlunya maka masalah sosial itu tidak akan pernah dapat diatasi.  SOSI4307/MODUL 1 LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Coba Anda temukan suatu masalah sosial, dan coba anda kemukakan kesalahpahaman yang terjadi atas masalah sosial tersebut! Petunjuk Jawaban Latihan a. b. c. Identifikasi gejala masalah sosial yang terjadi. Anda bisa menggunakan kesalahpahaman yang dikemukakan oleh Horton dan Leslie atau bisa juga menggunakan kesalahpahaman yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat. Diskusikan dengan teman kelompok belajar Anda. R A NG KU M AN Ada 6 ciri masalah sosial yang dapat membantu kita untuk mendalami fenomena ini, yaitu 1 masalah sosial itu sifatnya relatif, 2 masalah sosial saling berhubungan satu dengan yang lain, 3 masalah sosial selalu kompleks sifatnya, 4 masalah sosial selalu berbeda sepanjang rentang kehidupan, 5 masalah sosial dapat dikelompokkan, dan 6 masalah sosial dapat berdampak normal dalam pelaksanaan nilai-nilai sosial. Satu per satu ciri-ciri itu akan diulas secara singkat di bawah ini. Untuk menjelaskan mengenai masalah sosial, Manis 1977 mengemukakan 3 terminologinya, yaitu masalah sosial primer, masalah sosial sekunder, dan masalah sosial tersier. Masalah sosial primer adalah kondisi sosial yang sangat berpengaruh yang dapat membawa akibat kerusakan ganda terhadap masyarakat. Masalah sosial sekunder adalah kondisi yang berbahaya yang terutama disebabkan oleh masalah sosial yang sangat berpengaruh, selanjutnya dapat menyebabkan timbulnya masalah-masalah lain. Sedangkan masalah sosial tersier adalah kondisi yang berbahaya yang langsung atau tidak langsung merupakan akibat dari masalah yang lebih dominan Pengelompokan lain dilakukan juga oleh J. Polen 1979 yang menghasilkan 3 kelompok besar, yaitu Masalah-masalah Sosial  1 masalah kondisi sosial dan kebijakan sosial kerusakan lingkungan dan krisis energi, kependudukan dan pangan, kesenjangan, ras dan gender, serta urbanisasi, 2 lingkaran kehidupan perubahan dan masalah-masalahnya perubahan keluarga, pendidikan dan jompo, 3 pelanggaran atas norma-norma sosial kejahatan dan kenakalan, kecanduan alkohol dan obat, gangguan mental, serta penyimpangan seksual. Menurut Horton dan Leslie 1955 serta Garcia dan Militante, 1986 ada setidaknya delapan pemikiran yang keliru fallacies berkaitan dengan masalah sosial yang dapat menjadi dasar pertimbangan yang salah dalam penyusunan kebijaksanaan. Kesalahpahaman tersebut adalah anggapan bahwa masyarakat menyetujui masalah sebagaimana adanya, masalah sosial bersifat alamiah dan tak dapat dihindarkan, masalah sosial itu abnormal, masalah sosial disebabkan oleh orang jahat, masalah sosial berkembang sebagai akibat pemberitaan, semua orang menghendaki masalah sosial ditanggulangi, masalah sosial akan berhenti dengan sendirinya, serta masalah sosial dapat diselesaikan tanpa perubahan kelembagaan. Selain Horton dan Leslie 1955, Jalaludin Rahmat juga menyoroti mengenai kesalahpahaman tentang pola pikir masyarakat, yang dikaitkan dengan kesalahpahaman mengenai bagaimana kita memandang sebuah masalah sosial. Setidaknya, di sini, ada tujuh kesalahpahaman yang terjadi, yaitu over generalisasi, selalu melihat ke belakang tanpa melihat ke depan, mengaitkan hubungan kausalitas yang semu, mencari penjelasan pada sesuatu yang abstrak karena ikut-ikutan akhirnya terjadi hukum ekonomi, mengandalkan pada otoritas UU yang didasarkan pada penafsirannya sendiri, serta argumen yang hanya berputar-putar. TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1 Masalah sosial sering kali dikatakan bersifat relative, hal ini karena .... A. menyangkut banyak orang B. terkait dengan nilai-nilai moral C. dapat dilihat dari tataran horizontal dan vertikal D. adanya perbedaan kesadaran dan kepekaan tentang masalah sosial 2 Masalah sosial disebut kompleks karena .... A. tidak muncul secara mendadak instantly B. penyebabnya dapat ditelusuri melalui proses ekonomi  SOSI4307/MODUL 1 C. merupakan hasil interpretasi banyak pihak D. akibat yang ditimbulkan beraneka ragam 3 Masalah sosial itu saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain, artinya .... A. ada masalah yang terus-menerus dirasakan, ada yang datang secara periodik B. suatu kondisi tertentu dapat menyebabkan masalah sosial tertentu C. suatu masalah dapat menjadi penyebab munculnya masalah-masalah lain D. semua masalah sosial disebabkan oleh masalah primer 4 Pendapat bahwa „masalah sosial disebabkan oleh kondisi abnormal‟ merupakan suatu kesalahpahaman karena .... A. banyak masalah yang disebabkan oleh keberhasilan dalam satu bidang B. kondisi abnormal akan mendorong timbulnya kondisi normal C. masalah sosial sama dengan kondisi abnormal D. masalah sosial disebabkan oleh penderitaan 5 Pendapat bahwa masalah sosial dapat diselesaikan tanpa perubahan kelembagaan menyebabkan .... A. orang tidak mau menyelesaikan masalah tanpa perubahan kelembagaan B. semua orang dapat diajak mengatasi masalah C. orang beranggapan masalah itu akan selesai dengan sendirinya D. orang mencoba mengatasi masalah tanpa mencari faktor penyebabnya 6 Untuk mengatasi masalah sosial maka kita harus melakukan rekayasa .... A. pribadi B. sosial C. kolektif D. gabungan 7 Untuk mengatasi masalah sosial maka kita perlu mencari kondisi .... A. cukup B. perlu C. latent D. manifest Masalah-masalah Sosial  8 Kesalahpahaman tentang masalah sosial menurut Horton adalah .... A. masalah sosial itu over generalisasi B. selalu melihat ke belakang tanpa melihat ke depan C. mengaitkan hubungan kausalitas yang semu D. bahwa masalah sosial itu abnormal 9 Kondisi perlu dapat diartikan sebagai kondisi yang .... A. harus ada agar kejadian lain terjadi B. bisa ada agar kejadian lain terjadi C. bila dihilangkan maka kejadian lain bisa tetap ada D. hanya ada bila kejadian lain terjadi 10 Kondisi cukup dapat diartikan sebagai kondisi yang .... A. harus ada agar kejadian lain terjadi B. bisa ada agar kejadian lain terjadi C. bila dihilangkan maka kejadian lain tidak akan terjadi D. hanya ada bila kejadian lain terjadi Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.  SOSI4307/MODUL 1 Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1 B. Kejadian itu sudah menjadi keresahan umum jelas. 2 A. Sebab-sebab munculnya masalah sosial. Menurut sosiolog, bagaimana mengatasi masalah sosial merupakan bagian dari pekerja sosial. 3 D. Suatu kondisi yang dinyatakan jelas. 4 C. Adanya suatu kegiatan bersama jelas. 5 B. Bisa mencerminkan ukuran-ukuran umum tentang moral sudah jelas. 6 D. Munculnya pelaku utama jelas. 7 D. Pelaku utamanya jelas. 8 A. Suatu kejadian yang berlawanan dengan norma, namun tetap diterima apa adanya jelas. 9 C. Suatu kejadian yang berlawanan dengan norma sehingga harus dihilangkan jelas. 10 B. Bisa berasal dari alam jelas. Tes Formatif 2 1 B. Terkait dengan nilai-nilai moral jelas. 2 A. Tidak muncul mendadak jelas. 3 C. Suatu masalah dapat menjadi penyebab munculnya masalah-masalah Lain jelas. 4 A. Banyak masalah yang disebabkan oleh keberhasilan dalam satu bidang jelas. 5 D. Orang mencoba mengatasi masalah tanpa mencari faktor penyebabnya jelas. 6 B. Sosial. Rekayasa sosial adalah suatu tindakan bersama yang dilakukan untuk memecahkan masalah sosial. 7 B. Perlu. Kondisi perlu adalah suatu kondisi yang merupakan penyebab utama dari suatu kejadian, yang keberadaannya sangat berpengaruh pada kejadian lain. 8 D. Masalah sosial itu adalah abnormal jelas. Masalah-masalah Sosial  9 A. Harus ada agar kejadian lain terjadi. Kondisi perlu adalah suatu kondisi yang merupakan penyebab utama dari suatu kejadian, yang keberadaannya sangat berpengaruh pada kejadian lain. 10 B. Bisa ada agar kejadian lain terjadi. Kondisi cukup adalah suatu kondisi yang merupakan penyebab lain dari suatu kejadian, yang keberadaannya tidak mutlak berpengaruh pada kejadian lain.  SOSI4307/MODUL 1 Glosarium Problem management Masalah Masalah personal Keresahan umum Masalah sosial Budaya kemiskinan Manifest social problem Latent social problem Masalah sosial primer Masalah sosial sekunder kemampuan mengendalikan masalah. suatu hambatan yang dialami dan membutuhkan pemecahan dengan cara yang benar dan tepat. kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dan kenyataan yang dihadapi. suatu kondisi yang menghambat seorang individu sehingga terganggu atau bahkan tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik. masalah yang telah berpengaruh secara luas, dan menjadi bahan perdebatan umum. Merupakan suatu tahap yang dengan jelas memperlihatkan dimensi sosial dari suatu masalah. suatu kondisi yang dinyatakan tidak sesuai dengan nilai- nilai yang dianut oleh sebagian warga, yang sepakat bahwa suatu kegiatan bersama diperlukan untuk mengubah kondisi itu. melihat kondisi kemiskinan sebagai sesuatu yang wajar, dan dianggap berada di luar kemampuan untuk memperbaikinya. suatu kejadian yang dianggap salah oleh masyarakat. suatu kejadian yang dinilai berlawanan dengan aturan dan norma yang ada, namun tetap diterima dan dianggap bukan suatu masalah sosial. kondisi sosial yang sangat berpengaruh yang dapat membawa akibat kerusakan ganda terhadap masyarakat. kondisi yang berbahaya yang terutama disebabkan oleh masalah sosial yang sangat berpengaruh yang selanjutnya dapat menyebabkan timbulnya masalah-masalah lain. Masalah-masalah Sosial  Masalah sosial tersier rekayasa sosial Kondisi perlu Kondisi cukup kondisi yang berbahaya yang langsung atau tidak langsung merupakan akibat dari masalah yang lebih dominan. suatu tindakan bersama yang dilakukan untuk memecahkan masalah sosial. suatu kondisi yang merupakan penyebab utama dari suatu kejadian, yang keberadaannya sangat berpengaruh pada kejadian lain. suatu kondisi yang merupakan penyebab lain dari suatu kejadian, yang keberadaannya tidak mutlak berpengaruh pada kejadian lain.  SOSI4307/MODUL 1 Daftar Pustaka Baker, Louis Dean 1993. Social Problems A Critical Thinking Approach. California, USA Wadsworth Publishing Company. Bernard, J. 1957. Social Problems at Midcentury, Role, Status, and Stress in a Context of Abundance. New York, USA The Dryden Press, Inc. Cuff, E. C., Sharrock, D. W. Francis. 1995. Perspectives in Sociology. London Routledge. Etzioni, A. 1976. Social Problems. New Jersey, USA Prentice Hall, Inc. Garcia Leovisildo 1986. Social Problems. Manila National Book Store, Inc. Merton, dan Nisbet, 1961. Contemporary Social Problems. New York, USA Harcourt, Brace & World, Inc. Poloma, 1987. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan. Jakarta Rajawali Press. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Saduran Alimandan. Jakarta Rajawali Press. Rubington, E. dan Wainberg, 1995. The Study of Social Problems, Seven Perspective. New York. USA Oxford University Press. Sullivan, T. dan Thomson, 1988. Introduction to Social Problems, New York, USA Macmillan Publishing Company. 0% found this document useful 0 votes1 views20 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes1 views20 pagesSalinan Dari Makalah Konflik SosialJump to Page You are on page 1of 20 You're Reading a Free Preview Pages 8 to 18 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

jika sering terjadi kerusuhan maka kehidupan masyarakat menjadi tidak